Pagi ini aku ikut makan pagi
bersama keluarga. Kemarin saat aku sampai di rumah ini, bunda sudah tidur.
Akhirnya aku menginap karena sudah hampir tengah malam. Kulihat bunda begitu
gembira melihatku turun untuk ikut sarapan bersama.
Aku benar-benar merasa telah
menyia-nyiakan waktu yang begitu berharga beberapa tahun ini, tenggelam dalam
keegoisanku yang tidak masuk akal. Aku ingin kembali merasakan kehangatan
sebuah keluarga, tapi, aku sungkan. Aku yang telah membuat keluarga ini hancur
karena ulahku. Karena mengenalkan lelaki berengsek itu pada keluargaku, lelaki
yang menjadi penyebab hancur semuanya. Aku begitu menyayangi keluargaku,
sebenarnya, tetapi perasaan bersalah selalu saja menghantuiku setiap kali aku
melihat wajah bunda mau pun adik perempuanku ini.
Syukurlah, adikku mendapatkan
seorang lelaki baik dan mapan hingga dapat mengangkat kehidupannya. Andi bahkan
sangat baik, ia memboyong seluruh keluarga kami ke rumahnya, rumah dinas yang
ia dapatkan saat ia menjadi manajer di perusahaannya. Sebuah perumahan elite yang jauh lebih mewah dari
kontrakan kami yang sangat kecil dan sempit.
“Pulang jam berapa kemarin, kok bunda
tidak melihatmu pulang, Faith?” tanya
bunda sambil menyedokkan
nasi ke piringku.
“Hampir tengah malam,” jawabku
singkat.
“Jaga kesehatan, sayang. Jangan
kerja hingga tengah malam.” Bunda mengingatkan. Aku tersenyum simpul.
“Bunda yang harus jaga kesehatan.
Kata Andi, bunda
sakit. Jangan terlalu banyak kegiatan,” ujarku sambil menatap bunda yang
semakin hari semakin terlihat tua.
“Bunda hanya menghawatirkanmu,
Faith. Kau tidak pernah memberi kabar pada Bunda. Apa kau tidak merindukan Bundamu
ini?” Sebegitunya bunda mengkhawatirkanku? Aku menatap bunda yang sedang
menatap lembut ke arahku.
“Bukan begitu bunda, Faith hanya….”
Aku tidak melanjutkan ucapanku saat
melihat bunda menatapku dengan penuh kasih sayang. Sorot mata yang begitu
merindukan anaknya ini. Aku hanya bisa menundukkan kepalaku ketika air mata
hampir menetes.
“Sudahlah, ayo kita makan saja,”
Bunda mencoba mencairkan suasana.
“Sesekali pulanglah kak. Ini juga
rumahmu. Kapan saja kakak pulang, rumah ini selalu terbuka untukmu,” ujar Andi,
adik iparku.
“Benar kak. Sudah lama kita tidak
sarapan bersama. Tidakkah kakak kesepian, sendirian di ruko itu?” sahut adikku,
Febria sambil tertawa.
“Sesekali mampirlah ke kantor.
Katanya kau ingin foto hamil?” Aku
menjawab Febria tanpa memandangnya dan sok sibuk dengan makanan yang ada di
depanku. Adikku ini sudah hamil besar.
“Kapan kau mengenalkan kekasihmu
pada bunda, Faith?” tanya
bunda membuatku hampir tersedak. Aku mendengar Febria cekikikan.
Ini dia, pembicaraan yang aku tidak
suka saat berkumpul bersama keluarga. Hal ini juga yang membuatku enggan
mengunjungi bunda.
Pertanyaan yang tidak jauh dari kata menikah.
“Kau lihat Febria sudah hampir
melahirkan. Jangan terlalu larut dalam pekerjaan, Faith. Carilah seseorang.”
Seperti biasa aku hanya mengiyakan ucapan bunda.
“Atau perlu kucarikan seseorang
untukmu, kak? Sepertinya rekan kerja kak Andi masih banyak yang single,” goda Febria sambil cekikikan.
Andi mengacak pelan rambut istrinya, membuatku iri dengan kemesraan mereka.
“Jangan suka menggoda kakakmu,
sayang.” Andi memperingatkan dengan lembut. Aku hanya bisa tertawa hambar
mendengar ucapan Andi.
“Nanti, kapan-kapan kukenalkan pada
kalian,” ucapku sekenanya. Mengenalkan pada siapa? Hampir saja tawaku meledak
saat pikiran itu menggelitik kepalaku.
“Tuh kan, kak Faith ini kalau tidak
dipancing-pancing, tidak akan memberi tahu kalau dia sudah punya kekasih,”
ledek Febria.
Aku menatap Febria dengan kesal,
lalu pandanganku tertuju pada bunda. Beliau
menatapku dengan mata berbinar. Aku langsung menyesali ucapan asalku tadi. Aku
berasa membohongi orang yang begitu menyayangiku.
“Pak Andi, ada tamu mencari bapak,”
ujar seorang pembantu yang baru saja masuk ke ruang makan.
“Tamu? Siapa, Bi?” tanya Andi.
“Saya kurang tahu pak, dari
perusahaan, katanya.”
“Oh, baiklah. Terima kasih, Bi.” Andi bangkit dari
tempat duduknya, lalu menuju ruang tamu. Aku juga bangkit, lalu mengambil tas
yang kuletakkan di bawah kursi
meja makan.
“Bunda, Faith berangkat ke kantor,”
pamitku.
“Kenapa terburu-buru, bunda masih
ingin ngobrol denganmu.” Bunda ikut bangkit dari duduknya, lalu mendekatiku.
Aku meraih tangan bunda lalu menciumnya.
“Kapan-kapan Faith datang lagi.
Sebentar lagi Keyna dan Vira sampai di kantor. Kuncinya kan Faith yang pegang.”
Aku beralasan kembali. Bunda hanya mengangguk pelan, kemudian mencium puncak
kepalaku.
Aku berjalan keluar diiringi bunda
dan Febria, melewati ruang tamu di mana Andi sedang berbincang dengan seorang …
Oh my, bukankah dia….
“Faith.” Lelaki itu menatapku
dengan intens. Suaranya mampu membuatku menghentikan langkah dan terpaku
menatapnya.
“I-van-der … sedang apa … kau di
sini?” tanyaku dengan terbata.
Ivander hanya menyunggingkan
senyuman yang membuatku hampir tercekat. Aku berusaha mengerjapkan mataku agar
aku terbebas dari pesonanya.
“Kau pasti menguntitku semalam,”
tebakku disambut anggukan kecilnya.
“Maaf, aku hanya khawatir terjadi
apa-apa denganmu. Kemarin sudah larut malam,” jawabnya kalem, tetap dengan
senyumnya yang mempesona.
“Khawatir apanya? Kau sudah sengaja
menguntitku kan?” Aku mencebik. Lagi-lagi ia memamerkan senyumnya.
“Benar, itu hanya alasan.
Sebenarnya aku ingin tahu rumahmu, dan bertemu keluargamu. Lalu aku penasaran,
kenapa kau bisa serumah dengan Andi. Dia siapamu?” Ia menatapku menyelidik lalu
mendekatiku yang dari tadi hanya berdiri di ujung sofa.
“Andi, adik iparku,” suaraku
tercekat saat
ia kini berada di depanku. Ia meraih tangan bunda lalu menciumnya.
“Perkenalkan, Tante. Saya Ivander.
Saya~”
“Kekasih Faith?” Bunda menyambar
perkataan Ivander. Lelaki itu melirikku sekilas dengan ekor matanya.
“Begitulah, Tante.” Kini ia
melebarkan senyumnya, kembali melirikku, kali ini dengan tambahan senyum
menggoda. Kekasih? Eh, apa maksudnya? Pede sekali dia..
Aku hampir saja membantah perkataan
Ivander. Tapi ketika aku menatap wajah bunda yang begitu bahagia, aku tidak
tega merusak kebahagiaan bunda. Kebahagiaan yang selama ini tidak pernah
terlihat olehku setelah Ayah meninggal.
“Jadi, ini kekasihmu, Faith. Kenapa
baru kau kenalkan sekarang?” tanya
bunda sambil tersenyum. Aku bingung ditanya seperti itu. Aku melirik Ivander
yang sedang menatapku dengan manik hazelnya.
“Dan kau ternyata teman kerja Andi,
nak?” tanya bunda lagi, kali
ini kepada Ivander.
“Bukan, Bunda, Pak Ivander ini bukan
teman sekerja. Beliau atasanku. General
Manajer di tempatku bekerja.” Andi yang menjawab pertanyaan bunda.
Penjelasan Andi membuatku melongo. General Manajer? Ivander seorang General Manajer di perusahaan besar itu?
Aku menatap Ivander tidak percaya. Ia hanya tersenyum dan mengangkat bahunya.
“Maafkan saya, Andi, kalau
kedatangan saya membuat bingung. Sebenarnya saya ingin menemui Faith dan
keluarganya.”
“Tentu saja tidak, pak. Saya senang
anda berkunjung ke rumah ini. Mari, silakan duduk.” Andi mengajak Ivander kembali ke sofa.
Bunda mengikuti keduanya.
“Pilihanmu benar-benar jempol, kak.
Dia terlihat sexy.” Febria berbisik
sambil menyodok pinggangku. Aku hanya menatap gemas pada Febria yang sedang
terkikik geli.
0 komentar:
Posting Komentar