Aku menatap rumah besar di depanku.
Bukankah ini perumahan yang diberikan perusahaan kepada jajaran staff
manajer? Sebenarnya aku juga mendapat jatah
menempati rumah di kawasan ini setelah menikah nanti, tetapi, sepertinya aku
lebih suka tinggal di apartement yang
sudah lama kumiliki.
Lalu, apa hubungan Faith dengan
salah seorang staff manajer di
tempatku bekerja? Apakah ia sudah menikah? Yang aku tahu, fasilitas rumah dinas
ini hanya diberikan kepada karyawan yang sudah berkeluarga.
Mengusap kasar wajahku, mendengus
pelan, kemudian meraih ponsel, menghubungi seseorang, yang tentu saja bisa
kuandalkan saat aku membutuhkan segala macam informasi yang ingin kuketahui.
“Perumahan Bumi Wonorejo no. 23,
siapa yang tinggal di sana?” ucapku saat telepon tersambung tanpa basa-basi.
“Andi Permana, Pak. Dia manajer
pemasaran,” jawabnya setelah hening hampir satu menit.
“Sudah menikah berapa lama?”
tanyaku langsung pada pokok permasalahan yang mengganggu pikiranku saat ini.
“Hampir dua tahun, Pak.”
Alisku mengerut saat mendengar jawabannya.
“Ada lagi yang bisa saya bantu, Pak?”
“Aku ingin informasi tentang Faith,
pemilik Fide Frame. Aku tunggu
besok,” ucapku cepat lalu menutup teleponku.
Aku jatuh cinta pada perempuan itu.
Perempuan yang bernama Faith. Perempuan yang membuatku berkhayal setinggi
langit, hanya dengan cerita-cerita tentangnya. Ya, aku jatuh cinta jauh sebelum
aku bertemu dengannya. Aneh? Tentu saja. Aku juga merasa aneh dengan hal itu.
Tapi, itulah kenyataannya.
Pertama kali mendengar namanya,
saat aku berkunjung di studio Anton, teman lama yang berprofesi sebagai
fotografer. Saat itu aku melihatnya sedang mengamati foto panorama di layar PC.
Flashback: on
“Kau
juga memotret panorama?” tanyaku sambil ikut memperhatikan foto yang sedang ia
amati.
“Kadang-kadang,”
jawabnya tanpa melihat ke arahku.
“Kau
memotret yang seperti ini? Kukira otakmu itu hanya berisi bikini dan
model-model sexy.” Kudengar Anton terkekeh mendengar komentarku.
“Bagaimana
menurutmu? Indah kan?” tanyanya sambil terus mengamati karya luar biasa di
PC-nya.
“Tidak.
Bukan indah. Ini luar biasa. Di mana kau mengambil pemandangan ini? Sepertinya
aku belum pernah melihat pemandangan seperti itu di dekat-dekat sini.”
“Danau
di dekat Bandara,” jawabnya sambil tersenyum lebar. Aku terbelalak. Danau di
dekat bandara? Mustahil danau itu bisa seindah apa yang ada di layar PC ini.
“Kau
mengeditnya dengan Photoshop?” Aku terkekeh saat menyebutkan program untuk
mengedit foto. Aku sering melihat Anton memakai program itu saat mengedit
foto-foto. Ia pernah mengatakan dengan program itu, kita bisa mengubah yang
biasa menjadi istimewa, bahkan setiap kali ia memotret, ia pasti mengeditnya
dulu sebelum diberikan kepada klien.
“Foto
ini milik salah seorang anggota komunitas fotografiku. Namanya Faith.” Anton
kini menatapku sekilas, lalu bangkit dari singgasananya, kursi kerja di depan
PC yang ia gunakan untuk mengedit foto-foto.
“Foto
seorang amatiran?” tanyaku sambil melemparkan kaleng minuman soda yang baru
kubeli di mini market. Anton menangkap kaleng minuman soda itu dengan tangan
kirinya.
Aku
masih penasaran dengan ucapan Anton. Tidak mungkin foto danau yang
memperlihatkan pemandangan sebuah pohon rindang yang berada di pulau kecil di
tengah-tengah danau, berbackground
langit biru dengan awan-awan tipis dan sebuah gunung di kejauhan itu, dipotret
oleh seorang amatiran. Siapa saja yang melihat foto ini pasti membayangkan
suasana sejuk dan menyenangkan saat mengunjungi tempat itu. Sayangnya tidak. Pada
kenyataannya, danau itu sangat panas, tidak ada kesan sejuk di tempat itu. Jarang
sekali orang mau mengunjungi tempat itu untuk bersantai.
“Dulu
dia amatir, tetapi sekarang ia luar biasa berkembang. Dia punya sense sendiri
dalam menentukan sudut pandang. Faith pandai mencari spot unik yang membuat ia
mendapat jepretan berbeda dengan fotografer yang lainnya. Aku yakin ketika
bertemu dengannya, kau akan tertarik.” Anton menerangkan sambil sesekali
menyesap minuman sodanya.
“Aku
tertarik untuk dipotret olehnya, bukan tertarik padanya. Aku masih lelaki
normal, Brother.”
Aku menaikkan sebelah alisku. Terdengar Anton terkekeh.
“Tentu
saja karena kau lelaki normal, aku mengatakan bahwa kau akan tertarik padanya.
Kau pikir dia lelaki? Dia seorang perempuan.”
Perempuan?
Seorang fotografer perempuan? Kurasa aku mulai tertarik dengan ucapan Anton.
“Tapi,
jika kau hanya tertarik dipotret olehnya, sepertinya kau harus menunggu lama
moment itu. Ia tidak memotret model. Ia hanya menerima job prewedding. Dan sepertinya,
hal itu masih lama bagimu.” Kali ini Anton tidak hanya terkekeh tapi tertawa
terbahak-bahak dan aku hanya mendengus kesal.
Flashback: off
Semenjak saat itu, aku selalu
tertarik mendengar cerita tentang Faith dari Anton. Faith, perempuan mandiri yang
rela belajar mati-matian agar dapat mengembangkan potensinya, yang sekarang
bisa membangun sebuah usaha dengan tangannya sendiri. Benar-benar istimewa kan?
Di saat setiap perempuan begitu
gemar menghabiskan waktu dan mencari kesibukan yang tidak berguna, ia bekerja
keras membangun impiannya. Aku pun sering mengagumi karya-karya yang ia pajang
di website sebagai ajang promosinya.
Dan aku jatuh cinta. Jatuh cinta
pada pesona yang selalu Anton ceritakan. Jatuh cinta pada sosok yang tak pernah
sekali pun kutemui. Bukan aku tidak bisa mendatangi kantornya untuk melihat
perempuan yang sudah merebut hatiku lewat cerita dan karyanya … bukan. Aku bisa
saja pura-pura akan prewedding dengan
memakai jasanya, tetapi, aku ingin dia melihatku sebagai lelaki single, bukan lelaki yang sebentar lagi
akan menikah.
Aku mendengus kesal, memukul kemudi
sebagai pelampiasan. Sudah lebih dari satu jam aku menunggunya keluar dari
rumah itu. Siapa tahu dia hanya berkunjung sebentar. Tapi ini sudah lewat
tengah malam dan tidak ada tanda-tanda ia keluar dari sana.
Aku menghidupkan mesin mobil, lalu
melajukan mobilku menuju studio Anton, satu-satunya makhluk nocturnal yang ku kenal.
0 komentar:
Posting Komentar