Manusia Setengah Dewa #2

Ivander membelokkan mobilnya ke Caferalatte. Ah, pantas saja ia bilang cokelat panas di sini lezat. Aku bahkan menjadikannya tempat favorit untuk meeting atau sekedar bersantai di sela-sela kesibukanku. Marschoco di sini luar biasa bisa menenangkan pikiranku. Aku mengikuti mobil Ivander dan memarkirkan mobil tepat di samping mobilnya.
“Di sini?” Aku mengulum senyum.
“Benar. Kau tidak akan menyesal mencobanya.” Ia tertawa lebar lalu mempersilakanku masuk duluan. Aku tersenyum simpul, lalu membuka pintu. Freddie menyambutku dengan senyuman khasnya. Aku hanya menyeringai lebar, lalu menuju tempat favoritku, di samping jendela besar yang menghadap ke jalan.
Meeting selarut ini, miss?” tanya Freddie ketika menghampiri mejaku untuk mencatat pesanan. Aku tersenyum lebar.
“Aku bersama seorang teman kali ini. Seperti biasa dan buatkan yang sama untuk temanku,” ujarku disambut senyum lebarnya, lalu meninggalkanku untuk membuatkan pesanan.
“Kau, sering ke sini, Faith?” Ivander memandangku heran.
“Aku menggunakan tempat ini untuk meeting dengan klien, atau saat aku membutuhkan ketenangan. Seperti yang kau bilang, Marschoho di sini memang luar biasa lezatnya.” Aku mengulum senyum.
“Tidak kusangka kita memiliki tempat favorit yang sama.” Ivander tersenyum lebar. Aku hanya dapat menatap senyumnya dengan menahan nafas.
“Dan … kenapa pelayan tadi lebih mengira kau akan meeting, dari pada mengira kau sedang menghabiskan waktu bersama kekasihmu? Sepertinya hanya ada dua option, dia sudah hafal wajah kekasihmu, atau kau memang tidak pernah membawa kekasihmu ke sini.” Ivander terkekeh. Aku tertawa kecil.
Memang benar, aku selalu sendirian ke sini jika aku ingin bersantai, selebihnya itu aku hanya akan bersama orang lain ketika meeting.
“Sepertinya memang option yang kedua.” Aku tertawa.
“Oh, sudah kuduga.” Ia melebarkan senyumnya.
“Sudah berapa lama kau menjalani profesimu sebagai model?” Aku tiba-tiba bertanya. Sebenarnya aku tidak begitu tertarik tentang hal itu. Tapi, bertanya saja boleh kan? Apalagi aku merasa dia cukup piawai bergaya, tidak seperti klien-klienku yang sering tampak kaku ketika diarahkan untuk bergaya. Dan untuk hal itu aku maklum, karena aku tahu mereka memang bukan model.
“Belum lama. Mungkin dua tiga tahun ini. Sebenarnya ini hanya hobi. Hanya pekerjaan sampingan,” jawabnya santai.
“Lalu, apa pekerjaanmu? Kau masih mahasiswa?” Sekarang aku ingin tahu. Kalau dikira-kira, paling dia berumur dua puluh empat atau dua puluh lima tahun. Hmm, sepertinya dia masih sangat muda.
“Mahasiswa? Apakah aku tidak tampak terlalu tua disebut dengan mahasiswa? Aku bekerja di Maxime group. Kau pernah mendengarnya?” Ia terkekeh.
“Perusahaan itu cukup besar, apakah gajimu kurang sehingga kau memilih pekerjaan sampinganmu itu?” Aku tersenyum simpul.
“Tentu saja tidak. Sudah kukatakan, itu hanya sebuah hobi.” Ia kembali terkekeh. Aku hanya ber-oh- ria.
Freddie membawakan pesanan kami, sebelum berlalu, ia menyunggingkan senyumnya.
“Terima kasih Freddie. Dan seperti biasa, tagihan dikirim ke kantor ya,” Aku tersenyum.
“Hei, aku yang mengajakmu, kenapa kau yang mau membayarnya?” Ivander memprotesku ketika Freddie sudah berlalu dari hadapan kami.
“Sudah kebiasaan.” Aku tertawa.
“Kau membuatku malu, Faith. Baru pertama kalinya aku ditraktir oleh seorang gadis.” Ia mendengus pelan.
“Oya? Ah, aku tersanjung kalau begitu.” Aku tersenyum lebar sedangkan ia hanya mendecak sebal.
Aku menyesap marschocoku, rasa tenang yang hangat mulai menjalari hatiku. Cokelat memang memberi efek menenangkan, apa lagi saat di atasnya ditaburi marsmallow seperti yang sedang kunikmati ini. Aku memang butuh penenangan diri. Kalau beberapa tahun lalu, aku sering mengkonsumsi obat penenang jika pikiranku terlalu kacau. Namun sekarang, sepertinya kopi dan cokelat mampu mereda kegalauanku.
“Berapa usiamu?” Ivander bertanya tiba-tiba.
“Tiga puluh,” jawabku santai. Aku menatap satu alis lelaki di depanku ini terangkat.
“Tiga puluh tahun? Kau masih tampak seperti usia dua puluh empat tahun. Tadi aku mengira kau masih dua puluh empat tahunan.”
“Yang benar saja….” Jadi dia tadi melancarkan modusnya karena mengira aku lebih muda darinya? Aku tertawa geli.
“Tiga puluh tahun dan belum mempunyai kekasih, eh?” Senyum tersungging di bibirnya. Aku menghela nafas.
“Memang kenapa? Ada yang salah? Aku merasa, Tuhan sedang memberiku kesempatan untuk menikmati masa muda lebih panjang dari teman-teman sebayaku.” Aku tertawa pelan. Ya, pasti Tuhan memang sedang memberiku kesempatan untuk menebus masa mudaku yang kusia-siakan. Ivander tertawa.
“Benar. Kesempatan menikmati masa muda yang lebih panjang dari teman-teman sebaya kita. Aku juga merasakannya. Bisa menjalani hobiku seperti anak-anak remaja itu tanpa peduli usiaku,” ujarnya lalu menyesap marschoconya.
Aku memandangnya heran. Usia dua puluh lima tahun bukankah belum cukup tua untuk menjadi seorang model?
“Bahkan aku lebih tua darimu.” Sepertinya ia mengerti dengan apa yang kupikirkan.
“Benarkah? Tidak mungkin.” Aku tidak percaya.
“Aku tiga puluh dua tahun.” Ia tertawa kecil.
“Yang benar saja….” Aku menatapnya tidak percaya. Ia terlihat seperti pemuda berusia dua puluh lima tahun.
“Apa perlu kutujukkan kartu identitas untuk membuatmu percaya padaku?” Ia menaikkan sebelah alisnya. Aku tertawa lebar. Tidak sengaja aku melirik jari-jarinya. Tidak satu pun tersemat cincin di sana.
“Tiga puluh dua tahun dan belum menikah, eh?” tanyaku tanpa sadar. Ia menatapku dan sepertinya tersadar aku sempat melirik jarinya.
“Benar. Tidak ada yang mau denganku.” Ia terkekeh.
“Tidak ada yang mau denganmu? Yang benar saja.” Aku mencebik.
Kali ini aku tidak percaya padanya. Yang benar saja, tidak ada perempuan yang tertarik padanya? Pada malaikat yang terjebak dalam tubuh sempurna seperti ini? Apa perempuan-perempuan itu sudah tidak waras? Hati kecilku terasa sedang bersorak kegirangan. Apa-apaan aku ini? Apa yang sedang aku pikirkan?
“Di satu sisi, mereka pikir aku orang yang gila kerja, tidak punya waktu untuk melakukan hal lainnya. Di sisi lain, para model mengira aku seorang gay, seperti kebanyakan model pria lainnya.” Ia terkekeh. Aku ikut terkekeh. Aku merasa lega. Lega? Aku tercenung memikirkan perasaanku sendiri.
“Kau tidak berpikir untuk menjalin hubungan dengan seseorang?” Ia bertanya secara tiba-tiba. Aku menatapnya tidak mengerti. Menautkan kedua alisku, bertanya maksud pertanyaannya itu.
“Maksudku, di usiamu ini. Kebanyakan perempuan di usiamu sudah menikah. Bukan bermaksud untuk menghinamu atau apa, aku hanya bertanya, kau tidak berpikir untuk menjalin hubungan dengan seseorang, hubungan antara lelaki dan perempuan, seperti itu?”
“Pacaran maksudmu?”
“Seperti itulah,”
“Sepertinya saat ini, tidak,” jawabku pelan.
“Kenapa?”
“Entahlah. Kau sendiri?” Aku balik bertanya.
“Sebenarnya, aku tipe pria pemilih,” akunya pelan.
Ahh, tentu saja, lelaki sempurna seperti dia mana mungkin sembarangan mencari pasangan. Ia pasti selektif dalam memilih kekasihnya.
“Dan sepertinya aku sudah mendapatkan pilihanku.” Ia tersenyum lembut membuatku menahan nafas beberapa detik.
Bukan. Bukan senyumnya, tapi kata-kata sudah mendapatkan pilihanlah yang membuatku tercekat dan merasa sedikit kecewa. Apa? Kecewa?? Kenapa aku harus kecewa dengan pernyataannya?
“Oh.” Aku hanya ber-oh-ria menanggapi ucapannya.
“Kurasa, aku telah jatuh cinta padamu. Kau tahu, cinta pada pandangan pertama. Kurasa aku telah memilih untuk jatuh cinta padamu.” Ia menatapku intens.
“Apa? Jatuh cinta padaku? Yang benar saja….” aku tergelak. Tapi sejurus kemudian aku merasa aneh. Dia jatuh cinta padaku? Aku merasa di sudut hatiku ada kesejukan di sana. Tapi rasa apa itu? Aku benar-benar tidak dapat mendeskripsikan perasaanku sekarang.
“Kau mau jadi kekasihku, Faith?” Ia membuka mulutnya dengan pertanyaan itu.
Aku menatapnya tidak percaya. Kulihat mata hazel itu menatapku sedemikian rupa. Ia menatapku hingga aku kehabisan kata-kata. Tatapannya mampu membungkam mulutku. Masa ia menyatakan cintanya pada pertemuan pertama? Sungguh tidak biasa kan?
“Jangan bercanda,” ucapku kaku.
“Aku tidak suka candaan seperti itu,” tambahku.
“Aku tidak bercanda. Aku serius. Mungkin terlihat aneh, aku menyatakan perasaanku padamu di pertemuan pertama kita. Ya … ini memang aneh. Aku pun juga merasa aneh, jatuh cinta padamu seperti ini. Tapi, itulah yang kurasakan. Aku jatuh cinta padamu.” Ia tetap menatap mataku saat berbicara, seakan memberikan keyakinan bahwa ia serius dengan ucapannya. Aku tidak tahu harus menjawab apa.
“Apa yang membuatmu tidak percaya akan cinta, Faith?” tanyanya pelan.
“Apa?” Aku menatap manik hazel di depanku. Kenapa ia bisa tahu apa yang sedang aku pikirkan? Tidak percaya akan cinta?
Yaa, aku memang tidak percaya ada cinta yang tulus. Tidak, cintaku selalu tulus. Pada Reyhan, pada Hyden, tapi aku tidak pernah mendapatkan cinta yang benar-benar tulus padaku. Apakah harus kuceritakan alasannya? tentang penghianatan, tentang cintaku yang bertepuk sebelah tangan?
“Faith.”
“Aku ...” Aku mengalihkan pandanganku, menatap ke luar jendela besar yang berada di sebelah kananku. Kurasakan Ivander menggenggam jemariku, lalu dengan cepat kutepiskan tangannya.
“Maaf, aku hanya ...” Ivander menarik tangannya.
“Aku bahkan siap menikahimu sekarang, jika kau menginginkannya.” Ia berusaha menyakinkanku.
“A-Apa?” Kata-katanya sukses membuat mataku membulat, menatapnya tak percaya.
Menikah? Ah, bukankah itu yang kuinginkan? Menikah dengan seseorang yang kucintai, yang mencintaiku dengan tulus. Tapi aku masih bisa berpikir waras. Aku tidak mungkin menikah dengan orang yang baru pertama kali ini kutemui, yang mengaku jatuh cinta padaku. Yang benar saja….
“Kau berlebihan.” Aku berkilah.
“Memang. Tapi, aku benar-benar akan melakukannya jika kau mau menerimaku.” Ia terkekeh.
“Kau tidak sedang terburu-buru menikah karena dipaksa oleh keluargamu, kan?” Aku terkekeh, berusaha menyembunyikan kegugupan yang tiba-tiba menghampiriku.
“Tentu saja tidak. Orang tuaku tidak pernah mempermasalahkan kapan aku menikah. Mereka membebaskan anak-anaknya untuk menikah kapan pun kami mau. Aku punya dua orang adik. Adik perempuanku, yang bungsu, malah sudah menikah. Adik lelakiku, mungkin ia akan menikah duluan. Dan aku tidak masalah dengan hal itu. Seperti yang kau bilang, aku baru menikmati masa muda yang lebih panjang dari teman-teman sebayaku.” Ia tertawa lebar.
Aku mendesah pelan. Meski senasib, keadaan kita berbeda. Aku malah selalu terintimidasi dengan desakan bunda yang menyuruhku cepat-cepat menikah.
“Kau tidak percaya padaku? Apa yang harus kulakukan untuk membuatmu menerimaku?” tanyanya kemudian. Aku menggeleng pelan.
“Entahlah,” jawabku mengambang.
“Entahlah?” Ia mengulangi jawabanku dalam bentuk pertanyaan.
“Aku rasa kita belum kenal lebih jauh. Bahkan kita baru sekali bertemu. Aku merasa aneh ketika tiba-tiba kau bilang jatuh cinta padaku. Jujur, aku tidak tahu seperti apa perasaanku padamu. Jadi aku …”
Aku benar-benar tidak tahu apakah aku harus menolak atau menerimanya. Aku saja tidak tahu apa yang sedang kurasakan ini. Semua begitu tiba-tiba dan entahlah….
“Sepertinya aku harus memikirkannya dulu,” jawabku kemudian disambut senyum lebarnya yang sangat menawan.
“Benarkah?” Mata hazel itu berbinar.
“Aku bilang akan memikirkannya, bukan akan menerimamu.” Aku mencebik ketika melihat dia tersenyum lebar.
“Tidak masalah. Kau memikirkannya, berarti ada kesempatan buatku. Aku pikir, tadi kau akan menolakku mentah-mentah. Aku sudah khawatir dengan hal itu. Ternyata kau akan memikirkannya. Berarti kau masih memberiku kesempatan. Aku lega mendengarnya.” Senyumnya semakin lebar.
Aku menatapnya tidak percaya, kemudian menggeleng-gelengkan kepala melihat kepedean lelaki di depanku ini.
Aku sedikit terlonjak mendengar bunyi ponselku. Tertampang nama Andi, adik iparku di layar ponsel. Ada apa malam-malam begini ia meneleponku? Aku menatap Ivander yang sempat melirik ponselku.
“Maaf,” ucapku pada Ivander seraya mengangkat teleponku.
“Halo.”
Kak, bunda sakit. Pulanglah, bunda selalu menanyakanmu.” Suara Andi membuat bibirku bergetar.
“Apa?”
Kakak tidak perlu khawatir, bunda hanya tidak enak badan. Tapi, bunda selalu menanyakanmu. Pulanglah kak, jenguk bunda,” ucap Andi membuatku menghela nafas lega.
“Baiklah, aku ke sana sekarang,” ujarku pelan, menggantikan kata ‘pulang’ dengan ‘ke sana’, ke rumah Andi.
Aku senang mendengarnya. Terima kasih kak,” jawab Andi terdengar lega. Segera aku menutup telepon.
“Sepertinya, aku harus pulang. Sudah larut malam.” Aku mengambil tasku bersiap hendak bangkit dari kursiku.
“Ada masalah?”
“Tidak. Tidak ada yang perlu dicemaskan,” jawabku cepat.
“Kuantar?” tawarnya.
“Aku bawa mobil sendiri, kau ingat?” Aku terkekeh.
“Ah, benar. Baiklah. Kapan kita bisa bertemu lagi?” tanyanya.
“Entahlah,” jawabku sambil bangkit dari kursiku, melangkahkan kaki ke pintu. Ivander mengikutiku. Aku melambaikan tangan pada Freddie sebelum keluar dari kafe itu.

0 komentar:

Posting Komentar

 

PIEXAWORLD Published @ 2014 by Ipietoon