Pedih yang Kembali #3

Hyden menangkup wajahku dengan kedua tangannya. Ia tersenyum lembut. Senyum yang belum pernah terlihat olehku. Dikecupnya sebentar dahiku, lalu menatap mataku dengan lekat.
“Selamat tinggal,” ucapnya lembut, kemudian ia melepaskan rengkuhannya. Ia berbalik menjauhiku. Aku tertegun beberapa saat, kemudian mengerjapkan mata beberapa kali. Tersentak dari lamunan, kemudian mataku mencari keberadaannya. Dia ada di ujung sana. Semakin lama semakin menjauh.
“Hyden!!” Aku berlari mengejarnya. Setelah  tidak jauh dari jangkauanku, aku menggapai tangannya, berusaha menariknya dalam pelukanku. Dia memelukku erat. Erat sekali. Entah kenapa perasaanku jadi janggal. Dia tidak seperti Hydenku. Ia memelukku tidak seperti biasanya. Bukan pelukan yang aku kenal. Pelukannya terasa sangat posesif dan membuatku merinding. Dengan susah payah aku melepaskan pelukannya, lalu mendongak menatap wajahnya, mencari mata kelam yang selalu aku rindukan.
Aku tersentak ketika tidak mendapati wajah Hyden di depanku. Bukan Hyden. Aku mundur dua langkah saat menyadari  memeluk orang yang salah. Siapa … siapa manusia setengah dewa yang ada di depanku ini?
“Siapa kau?” Suaraku tercekat saat mata itu menatapku lekat. Mata hazel yang sempurna. Tatapan matanya mampu membuatku menahan nafas hingga aku tersenggal-senggal….
Mataku terbuka sempurna. Melihat sekelilingku hingga pandanganku tertumbuk pada sosok Hyden yang duduk tidak jauh dari ranjang. Mata kelam itu langsung menatapku lekat.
“Ada apa? Mimpi buruk lagi?” tanya Hyden seraya mendekatiku. Aku menatapnya lekat.
Mengingat mimpi yang baru saja aku alami, dadaku menjadi nyeri. Seperti aku akan benar-benar kehilangannya.
“Kali ini mimpi apa?” Ia menatapku lekat.
Dulu biasanya aku akan menceritakan setiap mimpiku pada Hyden. Dia yang selalu menjadi tempat mencurahkan perasaan di saat-saat terpurukku. Kali ini aku memimpikannya pergi. Mengucapkan selamat tinggal padaku. Haruskah aku menceritakan mimpiku kali ini padanya? Dan yang kulakukan untuk menjawab pertanyaannya hanyalah dengan menggelengkan kepala.
“Kau masih di sini?” tanyaku setelah aku melirik jam dinding. Jam lima sore. Berarti aku tidur seharian dan Hyden tetap ada di sini menemaniku.
“Aku sudah berjanji untuk tidak pergi tanpa sepengetahuanmu kan? Lagi pula kau lama sekali tidur, aku jadi tidak bisa bekerja.” Hyden terkekeh. Aku mencebik padanya.
Kerja? Bukannya selama ini kerjanya cuma keluyuran saja? Ia mempunyai usaha travel agen. Meski ia mempunyai banyak pekerja, ia lebih senang sesekali ikut travelling dengan menjadi tour guide. Aku tahu ia suka sekali travelling dan touring. Sama sepertiku, juga sahabat-sahabatku. Kami mempunyai hobi yang sama.
“Keyna baru saja turun. Joshua juga ada di bawah.” Hyden menjelaskan tanpa aku minta. Terang saja ia menjelaskan tanpa kuminta, aku tahu, ia tidak mau aku berpikir hanya berdua dengannya di sini. Aku hanya menyunggingkan senyumku menanggapi penjelasannya.
“Kau mau ke mana?” Ia bertanya saat melihatku bangkit dari ranjang. Ia membantuku untuk duduk.
“Turun,” jawabku singkat.
“Baiklah. Aku juga akan pergi,” ujarnya sambil membantuku untuk berdiri. Mendengar ucapannya aku mengejang, teringat mimpi barusan.
“Ke mana?” tanyaku cepat.
“Tentu saja pulang. Aku sudah berjanji padamu aku tidak akan pergi tanpa sepengetahuanmu. Sekarang kau sudah bangun. Aku bisa pulang, kan?” Hyden menjawab sambil tersenyum simpul.
“Kau tidak akan … “ Ucapanku menggantung. Aku ingin sekali melanjutkan pertanyaanku dengan kata ‘meninggalkanku’. Kau tidak akan meninggalkanku, kan?
“Mencari lelaki berengsek itu untuk membuat perhitungan? Tentu saja,” dengusnya. Aku menggeleng cepat. Bukan pertanyaan itu maksudku, tapi biarlah … biar ia menyangka aku bertanya demikian.
“Biarkan saja. Aku tidak mau berurusan lagi dengannya,” elakku.
“Sekian tahun ia menghilang dan sekarang kembali lagi. Apa lagi yang ia harapkan darimu, Faith?”
Aku menggeleng pelan. Aku juga tidak tahu apa yang ia inginkan dengan kembali datang dalam kehidupanku yang dengan susah payah aku bangun ini.
“Sudahlah, aku ada jadwal travelling seminggu ini. Tidak apa-apa kan? Aku yakin Nikki dan yang lain bisa melindungimu jika ia datang lagi. Lagi pula, aku juga butuh menenangkan diri,” tambahnya lagi.
“Pergilah. Aku baik-baik saja.” Aku menyunggingkan senyumku.
“Sepertinya kau perlu ke dokter Maya lagi. Persediaan obatmu habis,” sarannya, kemudian ia berbalik, berjalan menuju pintu.
“Tunggu!” Aku menahan tangan Hyden. Ia menoleh lalu menatapku sambil mengangkat alisnya.
“Kau … kenapa kau juga menyimpan obat penenang?” Pertanyaanku yang tiba-tiba membuat Hyden sedikit terbelalak. Sejurus kemudian ia terkekeh.
“Untuk berjaga-jaga saja. Kadang-kadang aku juga butuh obat penenang,” jawabnya di sela-sela kekehannya. Ia melepaskan tanganku, kemudian berlalu meninggalkanku yang tertegun. Hyden juga butuh obat penenang? Untuk apa??

0 komentar:

Posting Komentar

 

PIEXAWORLD Published @ 2014 by Ipietoon