Hyden
menangkup wajahku dengan kedua tangannya. Ia tersenyum lembut. Senyum yang
belum pernah terlihat olehku. Dikecupnya sebentar dahiku, lalu menatap mataku
dengan lekat.
“Selamat
tinggal,” ucapnya lembut, kemudian ia melepaskan rengkuhannya. Ia berbalik
menjauhiku. Aku tertegun beberapa saat, kemudian mengerjapkan mata beberapa kali. Tersentak dari
lamunan, kemudian mataku mencari keberadaannya. Dia ada di ujung sana. Semakin
lama semakin menjauh.
“Hyden!!”
Aku berlari mengejarnya. Setelah tidak
jauh dari jangkauanku, aku menggapai tangannya, berusaha menariknya dalam
pelukanku. Dia memelukku erat. Erat sekali. Entah kenapa perasaanku jadi
janggal. Dia tidak seperti Hydenku. Ia memelukku tidak seperti biasanya. Bukan
pelukan yang aku kenal. Pelukannya terasa sangat posesif dan membuatku
merinding. Dengan susah payah aku melepaskan pelukannya, lalu mendongak menatap
wajahnya, mencari mata kelam yang selalu aku rindukan.
Aku
tersentak ketika tidak mendapati wajah Hyden di depanku. Bukan Hyden. Aku mundur
dua langkah saat menyadari memeluk orang
yang salah. Siapa … siapa manusia setengah dewa yang ada di depanku ini?
“Siapa
kau?” Suaraku tercekat saat mata itu menatapku lekat. Mata hazel yang sempurna.
Tatapan matanya mampu membuatku menahan nafas hingga aku tersenggal-senggal….
Mataku terbuka sempurna. Melihat
sekelilingku hingga pandanganku tertumbuk pada sosok Hyden yang duduk tidak
jauh dari ranjang. Mata kelam itu langsung menatapku lekat.
“Ada apa? Mimpi buruk lagi?” tanya Hyden seraya
mendekatiku. Aku menatapnya lekat.
Mengingat mimpi yang baru saja aku
alami, dadaku menjadi nyeri. Seperti aku akan benar-benar kehilangannya.
“Kali ini mimpi apa?” Ia menatapku
lekat.
Dulu biasanya aku akan menceritakan
setiap mimpiku pada Hyden. Dia yang selalu menjadi tempat mencurahkan perasaan
di saat-saat terpurukku. Kali ini aku memimpikannya pergi. Mengucapkan selamat
tinggal padaku. Haruskah aku menceritakan mimpiku kali ini padanya? Dan yang
kulakukan untuk menjawab pertanyaannya hanyalah dengan menggelengkan kepala.
“Kau masih di sini?” tanyaku setelah aku
melirik jam dinding. Jam lima sore. Berarti aku tidur seharian dan Hyden tetap
ada di sini menemaniku.
“Aku sudah berjanji untuk tidak
pergi tanpa sepengetahuanmu kan? Lagi pula kau lama sekali tidur, aku jadi
tidak bisa bekerja.” Hyden terkekeh. Aku mencebik padanya.
Kerja? Bukannya selama ini kerjanya
cuma keluyuran saja? Ia mempunyai usaha travel
agen. Meski ia mempunyai banyak pekerja, ia lebih senang sesekali ikut travelling dengan menjadi tour guide. Aku tahu ia suka sekali travelling dan touring. Sama sepertiku, juga sahabat-sahabatku. Kami mempunyai
hobi yang sama.
“Keyna baru saja turun. Joshua juga
ada di bawah.” Hyden menjelaskan tanpa aku minta. Terang saja ia menjelaskan
tanpa kuminta, aku tahu, ia tidak mau aku berpikir hanya berdua dengannya di sini. Aku hanya
menyunggingkan senyumku menanggapi penjelasannya.
“Kau mau ke mana?” Ia bertanya saat
melihatku bangkit dari ranjang. Ia membantuku untuk duduk.
“Turun,” jawabku singkat.
“Baiklah. Aku juga akan pergi,” ujarnya
sambil membantuku untuk berdiri. Mendengar ucapannya aku mengejang, teringat
mimpi barusan.
“Ke mana?” tanyaku cepat.
“Tentu saja pulang. Aku sudah
berjanji padamu aku tidak akan pergi tanpa sepengetahuanmu. Sekarang
kau sudah bangun. Aku bisa pulang, kan?” Hyden menjawab sambil tersenyum
simpul.
“Kau tidak akan … “ Ucapanku
menggantung. Aku ingin sekali melanjutkan pertanyaanku dengan kata
‘meninggalkanku’. Kau tidak akan meninggalkanku, kan?
“Mencari lelaki berengsek itu untuk
membuat perhitungan? Tentu saja,” dengusnya. Aku menggeleng cepat. Bukan
pertanyaan itu maksudku, tapi biarlah … biar ia menyangka aku bertanya
demikian.
“Biarkan saja. Aku tidak mau
berurusan lagi dengannya,” elakku.
“Sekian tahun ia menghilang dan
sekarang kembali lagi. Apa lagi yang ia harapkan darimu, Faith?”
Aku menggeleng pelan. Aku juga
tidak tahu apa yang ia inginkan dengan kembali datang dalam kehidupanku yang
dengan susah payah aku bangun ini.
“Sudahlah, aku ada jadwal travelling seminggu ini. Tidak apa-apa
kan? Aku yakin Nikki dan yang lain bisa melindungimu jika ia datang lagi. Lagi pula,
aku juga butuh menenangkan diri,” tambahnya lagi.
“Pergilah. Aku baik-baik saja.” Aku
menyunggingkan senyumku.
“Sepertinya kau perlu ke dokter
Maya lagi. Persediaan obatmu habis,” sarannya, kemudian ia berbalik, berjalan
menuju pintu.
“Tunggu!” Aku menahan tangan Hyden.
Ia menoleh lalu menatapku sambil mengangkat alisnya.
“Kau … kenapa kau juga menyimpan
obat penenang?” Pertanyaanku yang tiba-tiba membuat Hyden sedikit terbelalak. Sejurus
kemudian ia terkekeh.
“Untuk berjaga-jaga saja.
Kadang-kadang aku juga butuh obat penenang,” jawabnya di sela-sela kekehannya.
Ia melepaskan tanganku, kemudian berlalu meninggalkanku yang tertegun. Hyden
juga butuh obat penenang? Untuk apa??
0 komentar:
Posting Komentar