Pedih yang Kembali #2

“Faith … sadarlah. Faith, apakah kau mendengarku?”
Samar-samar aku mendengar seseorang memanggilku. Suara yang begitu familiar dan kurindukan. Perlahan aku membuka mata, menatap mata kelam yang begitu familiar.
Hyden.
“Kenapa kalian biarkan dia di sini? Kenapa tidak ada yang membawanya ke kamar?” Suara Hyden terdengar dingin.
“Kau pikir kami kuat mengangkatnya ke lantai dua?” Keyna mencebiknya.
Tidak kusangka Hyden langsung mengangkatku, membopongku lalu membawaku ke lantai atas, ke kamarku. Ia meletakkanku dengan hati-hati di tempat tidur, lalu mengusap pelan keningku.
“Perlu kupanggilkan dokter Maya?” tanyanya pelan. Penuh perhatian.
Aku menggeleng. Lelah menatap mata kelam yang berpendar penuh perhatian. Setiap kali wajahku mengalihkan pandangan, setiap kali pula jemarinya menahan daguku untuk kembali menatapnya.
“Ada yang sakit?” tanyanya kembali. Aku kembali menggeleng. Tidak berani mengucapkan kata-kata sedikit pun.
Aku sangat yakin ketika aku membuka mulutku, pertahananku akan runtuh. Percayakah dia jika kukatakan bahwa sekarang seluruh tubuh bahkan hatiku terasa remuk redam?
“Bagaimana keadaanmu, Faith? Kau tidak apa-apa kan?” Tiba-tiba Nikki, Joshua dan Leo memasuki kamarku. Mereka semua di sini. Apakah Keyna memberitahukan kedatangan Reyhan pada mereka? Aku menatap wajah-wajah cemas di depanku.
“Apakah dia menyakitimu?” tanya Leo seraya mengusap keningku. Aku menggeleng pelan.
“Dia? Dia siapa maksudmu? Kau hanya mengatakan Faith pingsan. Kupikir dia sakit atau apa. Kau bilang, dia? Apa yang terjadi sebenarnya?” tanya Hyden menatapku dan Leo bergantian, menuntut penjelasan.
“Reyhan kembali.”
Aku melihat rahang Hyden mengeras dan tubuhnya mengejang saat Nikki menjawab pertanyaannya.
“A-Apa?” Hyden menatapku lekat. Seakan mempertanyakan kebenaran dari kata-kata Nikki. Aku hanya mampu menatap mata kelamnya, tetap tidak berani mengatakan apa pun.
“Berani-beraninya ia kembali ke hidupmu. Tunggulah, akan kubalaskan semua yang pernah dia lakukan padamu.” Hyden hendak beranjak ketika aku meraih tangannya, mencoba menahan kepergiaanya. Hyden orang yang sangat temperamental. Ia suka meledak-ledak kalau sedang emosi. Ia bisa melukai orang lain bahkan dirinya sendiri.
“Ja-ngan.” Pertahananku runtuh sudah, isakan mulai lolos dari bibirku. Hyden tertegun sejenak melihat air mata yang mulai mengalir deras, lalu dengan cepat ia menghapusnya dengan ibu jari.
“Jangan menangis. Kumohon, jangan menangis. Dia tidak layak kau tangisi seperti itu,” ujarnya pelan sambil terus saja menghapus air mata yang kian deras mengalir. Ia melepas jemarinya dari wajahku, lalu beranjak dari duduknya.
“Ja-ngan pergi,” isakku.
“Tidak. Aku akan tetap di sini.” Hyden menggenggam erat jemariku yang tadi kugunakan untuk menahan kepergiannya sejenak, lalu melepaskannya. Ia berjalan menuju meja rias dan mengobrak-abriknya, lebih tepatnya mencari sesuatu.
“Di mana obatmu, Faith?” Ia menoleh sebentar, lalu kembali mencari-cari di meja rias.
“Habis,” jawabku singkat. Lagi pula sudah dua tahun aku tidak lagi tergantung pada obat itu. Aku juga sudah tidak pernah meminta obat pada dokter Maya.
“Ambilkan air untuknya,” ucap Hyden pada Leo yang dari tadi hanya berdiri di ujung ranjang, kemudian ia berjalan mendekatiku.
“di meja sampingmu, kan ada air minum,” jawab Leo cuek.
Hyden membuka tasnya, mengeluarkan sebuah botol kecil berisi obat penenang. Diambilnya sebutir obat dari dalamnya, lalu mengambil segelas air di meja dan menyodorkannya padaku.
“Minumlah,” katanya pelan.
Hyden menyimpan obat penenang? Sebelum sempat bertanya, Hyden sudah menyorongkan obat ke dalam mulutku dan membantu untuk minum.
“Sekarang tidurlah,” perintahnya lagi, saat aku ingin membuka mulut, bertanya tentang obat penenang yang ia simpan.
“Tidurlah, Faith. Kami di sini.” Nikki duduk di sisi ranjang, kemudian menggenggam tanganku. Aku berusaha memejamkan mata dengan sisa-sisa isakanku. Aku bersyukur di saat seperti ini, ada sahabat-sahabat yang begitu peduli padaku.
“Nikki,” Aku kembali membuka mata.
“Ya,”
“Pastikan Hyden tidak pergi,” ujarku yang disambut kekehan Hyden lalu sentilan ringan di kening.
“Kau pikir aku bayi, yang harus diawasi oleh Nikki? Aku berjanji tidak akan pergi tanpa sepengetahuanmu. Sudah? Sekarang tidurlah,” ujar Hyden masih dengan kekehannya. Aku kembali menutup mata, berusaha mencari ketenangan di alam bawah sadarku.

0 komentar:

Posting Komentar

 

PIEXAWORLD Published @ 2014 by Ipietoon