“Faith
… sadarlah. Faith, apakah kau mendengarku?”
Samar-samar aku mendengar seseorang
memanggilku. Suara yang begitu familiar dan kurindukan. Perlahan aku membuka
mata, menatap mata kelam yang begitu familiar.
Hyden.
“Kenapa kalian biarkan dia di sini?
Kenapa tidak ada
yang membawanya ke kamar?” Suara Hyden terdengar dingin.
“Kau pikir kami kuat mengangkatnya
ke lantai dua?” Keyna mencebiknya.
Tidak kusangka Hyden langsung
mengangkatku, membopongku lalu membawaku ke lantai atas, ke kamarku. Ia
meletakkanku dengan hati-hati di tempat tidur,
lalu mengusap pelan keningku.
“Perlu kupanggilkan dokter Maya?” tanyanya pelan. Penuh
perhatian.
Aku menggeleng. Lelah menatap mata
kelam yang berpendar penuh perhatian. Setiap kali wajahku mengalihkan
pandangan, setiap kali pula jemarinya menahan daguku untuk kembali menatapnya.
“Ada yang sakit?” tanyanya kembali. Aku
kembali menggeleng. Tidak berani mengucapkan kata-kata sedikit pun.
Aku sangat yakin ketika aku membuka
mulutku, pertahananku akan runtuh. Percayakah dia jika kukatakan bahwa sekarang
seluruh tubuh bahkan hatiku terasa remuk redam?
“Bagaimana keadaanmu, Faith? Kau
tidak apa-apa kan?” Tiba-tiba Nikki, Joshua dan Leo memasuki kamarku. Mereka
semua di sini.
Apakah Keyna memberitahukan kedatangan Reyhan pada mereka? Aku menatap
wajah-wajah cemas di depanku.
“Apakah dia menyakitimu?” tanya Leo seraya mengusap
keningku. Aku menggeleng pelan.
“Dia? Dia siapa maksudmu? Kau hanya
mengatakan Faith pingsan. Kupikir dia sakit atau apa. Kau bilang, dia? Apa yang
terjadi sebenarnya?” tanya
Hyden menatapku dan Leo bergantian, menuntut penjelasan.
“Reyhan kembali.”
Aku melihat rahang Hyden mengeras
dan tubuhnya mengejang saat Nikki menjawab pertanyaannya.
“A-Apa?” Hyden menatapku lekat.
Seakan mempertanyakan kebenaran dari kata-kata Nikki. Aku hanya mampu menatap
mata kelamnya, tetap tidak berani mengatakan apa pun.
“Berani-beraninya ia kembali ke
hidupmu. Tunggulah, akan kubalaskan semua yang pernah dia lakukan padamu.”
Hyden hendak beranjak ketika aku meraih tangannya, mencoba menahan
kepergiaanya. Hyden orang yang sangat temperamental. Ia suka meledak-ledak
kalau sedang emosi. Ia bisa melukai orang lain bahkan dirinya sendiri.
“Ja-ngan.” Pertahananku runtuh
sudah, isakan mulai lolos dari bibirku.
Hyden tertegun sejenak melihat air mata yang mulai mengalir deras, lalu dengan
cepat ia menghapusnya dengan ibu jari.
“Jangan menangis. Kumohon, jangan
menangis. Dia tidak layak kau tangisi seperti itu,” ujarnya pelan sambil terus
saja menghapus air mata yang kian deras mengalir. Ia melepas jemarinya dari
wajahku, lalu beranjak dari duduknya.
“Ja-ngan pergi,” isakku.
“Tidak. Aku akan tetap di sini.”
Hyden menggenggam erat jemariku yang tadi kugunakan untuk menahan kepergiannya
sejenak, lalu melepaskannya. Ia berjalan menuju meja rias dan
mengobrak-abriknya, lebih tepatnya mencari sesuatu.
“Di mana obatmu, Faith?” Ia menoleh sebentar,
lalu kembali mencari-cari di meja rias.
“Habis,” jawabku singkat. Lagi pula
sudah dua tahun aku tidak lagi tergantung pada obat itu. Aku juga sudah tidak
pernah meminta obat pada dokter Maya.
“Ambilkan air untuknya,” ucap Hyden
pada Leo yang dari tadi hanya berdiri di ujung ranjang, kemudian ia berjalan
mendekatiku.
“di meja sampingmu, kan ada air
minum,” jawab Leo cuek.
Hyden membuka tasnya, mengeluarkan sebuah botol kecil berisi
obat penenang. Diambilnya sebutir obat dari
dalamnya, lalu mengambil segelas air di meja dan
menyodorkannya padaku.
“Minumlah,” katanya pelan.
Hyden menyimpan obat penenang?
Sebelum sempat bertanya, Hyden sudah menyorongkan obat ke dalam mulutku dan
membantu untuk minum.
“Sekarang tidurlah,” perintahnya
lagi, saat aku ingin membuka mulut, bertanya tentang obat penenang yang ia
simpan.
“Tidurlah, Faith. Kami di sini.”
Nikki duduk di sisi ranjang, kemudian menggenggam tanganku. Aku berusaha
memejamkan mata dengan sisa-sisa isakanku. Aku bersyukur di saat seperti ini,
ada sahabat-sahabat yang begitu peduli padaku.
“Nikki,” Aku kembali membuka
mata.
“Ya,”
“Pastikan Hyden tidak pergi,”
ujarku yang disambut kekehan Hyden lalu sentilan ringan di kening.
“Kau pikir aku bayi, yang harus
diawasi oleh Nikki? Aku berjanji tidak akan pergi tanpa sepengetahuanmu. Sudah?
Sekarang tidurlah,” ujar Hyden masih dengan kekehannya. Aku kembali menutup
mata, berusaha mencari ketenangan di alam bawah sadarku.
0 komentar:
Posting Komentar