Malaikat Bernama Faith #3

“Pagi, Laras,” sapaku pada Laras, sekretarisku, yang disambut dengan wajah melongonya.
“Pa-pagi, Pak,” jawabnya terbata.
“Suruh pak Andi, manajer pemasaran, untuk ke ruanganku,” ujarku cepat.
“Ta-tapi, pak.” Laras hanya melirik jam dinding yang menempel dengan manisnya di atas pintu ruanganku. Reflek aku pun melirik ke arah yang sama. Jam delapan kurang. Oke, kepagian. Jam kerja baru akan dimulai pukul Sembilan.
“Nanti, kalau dia sudah datang,” ralatku.
“Baik, pak.” Laras sudah menormalkan kegugupannya barusan.
Aku sedikit tersenyum geli melihat ekspresi Laras pagi ini. Aku memang bukan seseorang yang dingin yang tidak pernah berinteraksi dengan orang lain. Aku selalu membalas sapaannnya tiap kali aku datang atau pulang, tetapi aku bukanlah tipe orang ramah yang selalu menyapa duluan orang lain. Aku tidak pernah menyapa duluan padanya. Bukan hanya padanya, tetapi ke semua bawahanku.
Aku melangkah menuju meja kerja dan mendapati sebuah map merah di atasnya. Aku tersenyum lebar, mendudukkan diri di kursi, lalu menyambar map yang kuyakini adalah informasi tentang Faith, perempuan yang benar-benar sudah menguasai hatiku.
Aku tersenyum lebar serta sesekali menyeringai saat membaca berkas yang berada di tanganku. Faith benar-benar membuatku seperti orang bodoh. Kemarin aku mengikutinya hingga ke rumahnya, menunggunya kalau-kalau dia keluar lagi dari rumah itu, menunggu pagi tanpa bisa tidur dan pagi tadi dengan penuh rasa penasaran aku mendatangi rumah itu, untuk memastikan bahwa Andi, manajer pemasaran itu bukanlah suaminya. Dan sekali lagi aku merasa bodoh, kenapa tidak mencari informasi seperti ini sejak dulu saja.
Terdengar pintu ruanganku diketuk, lalu terbuka menampilkan sosok Andi di depan pintu.
“Bapak memanggil saya?” Ia bertanya dengan sedikit ragu. Aku mengembangkan senyumku.
“Masuklah,” jawabku singkat. Andi memasuki ruanganku saat aku berdiri dari kursi kemudian beranjak menuju sofa.
“Duduklah.” Aku mempersilakan dia duduk di sofa berseberangan denganku.
“Ada yang bisa saya bantu, pak?” tanya Andi terlihat basa-basi sekali.
“Santai saja, Andi. Aku hanya ingin melanjutkan pembicaraan kita tadi pagi. Tapi sebelumnya aku minta maaf karena mengganggu keluargamu, dengan datang pagi-pagi sekali. Sebenarnya, aku ingin melanjutkan pembicaraan kita tadi, tapi kau tahu sendiri, ekspresi kakak iparmu itu sudah membuatku bergidik,” ucapku mencoba mencairkan suasana. Kulihat Andi terkekeh pelan.
“Tidak apa-apa, Pak. Saya malah senang. Apalagi Bunda, beliau sangat senang akhirnya kak Faith mau memperkenalkan … kekasihnya, maksud saya Bapak, pada Bunda. Kak Faith itu terlalu tertutup pada keluarga, kadang dipaksa pun, ia jarang mau menceritakan apa pun.” 
“Ia juga tidak menceritakan apa pun padaku,” Aku terkekeh pelan.
“Yah, begitulah kakak ipar saya itu, pak. Saya harap bapak bisa memaklumi dia.” Andi tersenyum sopan.
“Untuk itu, aku membutuhkan bantuanmu, Andi.”
“Bantuan saya?”
“Aku ingin tahu segala sesuatu tentang Faith, karena jujur, aku tidak tahu apa pun tentang dia. Kau tahu maksudku kan?”
Andi terkekeh kembali.
“Saya yakin Kak Faith tidak akan suka dengan hal ini.”
“Tentu saja. Aku bisa membayangkannya, saat tahu kau membocorkan semua tentangnya.” Aku ikut terkekeh.
“Tapi, perlu kau ketahui, Andi. Perasaanku padanya tidak main-main. Aku benar-benar mencintainya dan ingin membahagiakannya,” tambahku sungguh-sungguh.
“Saya senang mendengarnya, Pak. Kak Faith juga berhak bahagia, setelah apa yang ia alami. Saya juga ingin dia bahagia, seperti dia sudah berusaha membahagiakan istri saya.” Raut muka Andi tampak serius saat mengucapkan kata-kata yang membuatku mengerutkan dahi.
“Setelah apa yang ia alami? Apa maksudmu?”
“Buat saya, kak Faith adalah perempuan paling mengagumkan yang pernah saya temui.” Saat mengucapkan kata-kata itu, raut wajah Andi terlihat sangat memuja Faith. Dan hal itu membuat dadaku meletup-letup. Astaga, aku cemburu pada adik iparnya? Yang benar saja! Tapi, kenapa Andi begitu mengagumi Faith? Bukankah seharusnya ia memuja adik Faith yang sekarang menjadi istrinya itu?
“Saya tidak bisa membayangkan, di saat terpuruknya, ia sanggup berdiri tegak, bahkan berjuang sendiri membiayai seluruh keperluan bunda dan adiknya. Ia membiayai kuliah Febria, dan kuliahnya, dengan hasil usahanya sendiri.”
“Masa ter-pu-ruk? Masa terpuruknya?” Bibirku bergetar saat mempertanyakan hal itu. Kulihat Andi mendengus pelan, seakan merasa bersalah telah mengatakannya.
“Saya juga kurang tahu tepatnya, saya hanya mendengar cerita dari Febria. Kira-kira enam tahun yang lalu, kak Faith berhubungan dengan seorang lelaki …”
Darahku mendidih mendengar Andi menceritkan hal itu. Apa yang dilakukan lelaki itu hingga membuat Faith terpuruk?
“Lelaki itu tidak hanya mencampakkan Kak Faith demi perempuan lain, tapi juga membuat perusahaan Ayah bangkrut, membuat mereka kehilangan harta mereka. Akhirnya mereka harus menempati rumah kontrakan yang kecil. Ayah menjadi sakit-sakitan sejak saat itu, dan akhirnya beliau meninggal.”
Aku mengepalkan tangan untuk menahan emosi yang tiba-tiba naik. Laki-laki berengsek! Makiku dalam hati.
“Kak Faith merasa bersalah pada Bunda dan Febria. Sejak saat itu, Kak Faith berubah. Ia bekerja keras menghidupi keluarga. Ia tidak mengijinkan Bunda mau pun Febria bekerja karena kak Faith merasa hal itu adalah tanggung jawabnya. Ia menjadi lebih tertutup sekarang. Bahkan dia hampir tidak pernah mengunjungi Bunda. Kemarin saja, kalau saya tidak meneleponnya karena Bunda sakit, ia tidak pulang.”
Faith tidak tinggal di rumah Andi? Jadi, orang yang menelepon Faith kemarin malam adalah Andi. Mataku sampai tidak berkedip mendengar cerita masa lalu Faith, perempuanku, dari mulut Andi.
“Kau tahu, siapa lelaki brengsek yang sudah membuat mereka menderita?” Aku menggeram pelan, berusaha menekan emosiku dengan mengepalkan tanganku erat-erat. Andi menggeleng pelan.
“Febria tidak pernah mau menceritakan tentang hal itu. Lagipula, semua sudah berubah. Kami tidak pernah lagi membicarakannya karena menjaga perasaan Kak Faith. Kami takut ia masih hidup dalam rasa bersalahnya. Kami tidak ingin mengungkitnya. Dan saya harap, Bapak jangan mengungkit hal ini di depannya. Dia sudah terlalu banyak menderita dan bekerja keras. Melihatnya sudah bangkit dari keterpurukan, membangun sebuah usaha, dan menjalin hubungan lagi dengan seorang lelaki, sudah membuat kami tenang. Kami tidak ingin membuatnya mengingat masa-masa terpuruknya.”
Aku mendengus pelan.
“Kau benar. Lalu, bodyguard-bodyguardnya? Apakah kau juga mengenalnya?”
Bodyguard?” Andi menatapku dengan alis berkerut.
“Mmph, maksudku, sahabat-sahabatnya,” ralatku saat menyadari ucapanku.
“Oh, ya. Mereka memang lebih seperti bodyguard dari pada sahabat.” Andi terkekeh pelan.
“Kau mengenal mereka?” tanyaku memastikan.
“Saya memang mengenal mereka, Pak. Mereka cukup posesif menurut saya. Bunda bahkan mempercayakan Kak Faith pada mereka untuk dijaga. Saya pikir, suatu saat Kak Faith akan bersama dengan salah satu dari mereka, terutama Hyden. Dia terlihat begitu perhatian pada Kak Faith. Dia yang selalu ke rumah, sering berbicara pada Bunda tentang Kak Faith. Saya pikir …” Ucapan Andi menggantung, tidak enak hati saat menatapku.
“Tidak apa-apa. Lanjutkan saja,” ucapku mencoba tenang. Aku tahu, dari cerita Andi, lelaki bernama Hyden itu salah satu ancaman bagiku. Dia pasti mempunyai perasaan lebih pada Faith. Siapa pun bisa merasakannya.
“Saya pikir, dia adalah kekasih Kak Faith. Tapi ternyata, anda lah, yang dipilih oleh Kak Faith.” Andi tersenyum. Aku hanya tersenyum kecut. Dipilih? Aku bahkan belum mendapatkan jawaban apa pun dari mulutnya. Aku yang terlalu kepedean menjadi kekasih malaikat itu.
Seorang malaikat tanpa sayap. Dan malaikat itu bernama Faith Aerilyn.

lanjutkan

0 komentar:

Posting Komentar

 

PIEXAWORLD Published @ 2014 by Ipietoon