“Pagi, Laras,” sapaku pada Laras,
sekretarisku, yang disambut dengan wajah melongonya.
“Pa-pagi, Pak,” jawabnya terbata.
“Suruh pak Andi, manajer pemasaran,
untuk ke ruanganku,” ujarku cepat.
“Ta-tapi, pak.” Laras hanya melirik
jam dinding yang menempel dengan manisnya di atas pintu ruanganku. Reflek aku
pun melirik ke arah yang sama. Jam delapan kurang. Oke, kepagian. Jam kerja
baru akan dimulai pukul Sembilan.
“Nanti, kalau dia sudah datang,”
ralatku.
“Baik, pak.” Laras sudah
menormalkan kegugupannya barusan.
Aku sedikit tersenyum geli melihat
ekspresi Laras pagi ini. Aku memang bukan seseorang yang dingin yang tidak
pernah berinteraksi dengan orang lain. Aku selalu membalas sapaannnya tiap kali
aku datang atau pulang, tetapi aku bukanlah tipe orang ramah yang selalu
menyapa duluan orang lain. Aku tidak pernah menyapa duluan padanya. Bukan hanya
padanya, tetapi ke semua bawahanku.
Aku melangkah menuju meja kerja dan
mendapati sebuah map merah di atasnya. Aku tersenyum lebar, mendudukkan diri di
kursi, lalu menyambar map yang kuyakini adalah informasi tentang Faith,
perempuan yang benar-benar sudah menguasai hatiku.
Aku tersenyum lebar serta sesekali
menyeringai saat membaca berkas yang berada di tanganku. Faith benar-benar
membuatku seperti orang bodoh. Kemarin aku mengikutinya hingga ke rumahnya,
menunggunya kalau-kalau dia keluar lagi dari rumah itu, menunggu pagi tanpa
bisa tidur dan pagi tadi dengan penuh rasa penasaran aku mendatangi rumah itu,
untuk memastikan bahwa Andi, manajer pemasaran itu bukanlah suaminya. Dan
sekali lagi aku merasa bodoh, kenapa tidak mencari informasi seperti ini sejak
dulu saja.
Terdengar pintu ruanganku diketuk,
lalu terbuka menampilkan sosok Andi di depan pintu.
“Bapak memanggil saya?” Ia bertanya
dengan sedikit ragu. Aku mengembangkan senyumku.
“Masuklah,” jawabku singkat. Andi
memasuki ruanganku saat aku berdiri dari kursi kemudian beranjak menuju sofa.
“Duduklah.” Aku mempersilakan dia
duduk di sofa berseberangan denganku.
“Ada yang bisa saya bantu, pak?”
tanya Andi terlihat basa-basi sekali.
“Santai saja, Andi. Aku hanya ingin
melanjutkan pembicaraan kita tadi pagi. Tapi sebelumnya aku minta maaf karena
mengganggu keluargamu, dengan datang pagi-pagi sekali. Sebenarnya, aku ingin
melanjutkan pembicaraan kita tadi, tapi kau tahu sendiri, ekspresi kakak iparmu
itu sudah membuatku bergidik,” ucapku mencoba mencairkan suasana. Kulihat Andi
terkekeh pelan.
“Tidak apa-apa, Pak. Saya malah
senang. Apalagi Bunda, beliau sangat senang akhirnya kak Faith mau
memperkenalkan … kekasihnya, maksud saya Bapak, pada Bunda. Kak Faith itu
terlalu tertutup pada keluarga, kadang dipaksa pun, ia jarang mau menceritakan
apa pun.”
“Ia juga tidak menceritakan apa pun
padaku,” Aku terkekeh pelan.
“Yah, begitulah kakak ipar saya
itu, pak. Saya harap bapak bisa memaklumi dia.” Andi tersenyum sopan.
“Untuk itu, aku membutuhkan
bantuanmu, Andi.”
“Bantuan saya?”
“Aku ingin tahu segala sesuatu
tentang Faith, karena jujur, aku tidak tahu apa pun tentang dia. Kau
tahu maksudku kan?”
Andi terkekeh kembali.
“Saya yakin Kak Faith tidak akan
suka dengan hal ini.”
“Tentu saja. Aku bisa
membayangkannya, saat tahu kau membocorkan semua tentangnya.” Aku ikut terkekeh.
“Tapi, perlu kau ketahui, Andi.
Perasaanku padanya tidak main-main. Aku benar-benar mencintainya dan ingin
membahagiakannya,” tambahku sungguh-sungguh.
“Saya senang mendengarnya, Pak. Kak Faith juga
berhak bahagia, setelah apa yang ia alami. Saya juga ingin dia bahagia, seperti
dia sudah berusaha membahagiakan istri saya.” Raut muka Andi tampak serius saat
mengucapkan kata-kata yang membuatku mengerutkan dahi.
“Setelah apa yang ia alami? Apa
maksudmu?”
“Buat saya, kak Faith adalah
perempuan paling mengagumkan yang pernah saya temui.” Saat mengucapkan
kata-kata itu, raut wajah Andi terlihat sangat memuja Faith. Dan hal itu
membuat dadaku meletup-letup. Astaga, aku cemburu pada adik iparnya? Yang benar
saja! Tapi, kenapa Andi begitu mengagumi Faith? Bukankah seharusnya ia memuja
adik Faith yang sekarang menjadi istrinya itu?
“Saya tidak bisa membayangkan, di
saat terpuruknya, ia sanggup berdiri tegak, bahkan berjuang sendiri membiayai
seluruh keperluan bunda dan adiknya. Ia membiayai kuliah Febria, dan kuliahnya,
dengan hasil usahanya sendiri.”
“Masa ter-pu-ruk? Masa
terpuruknya?” Bibirku bergetar saat mempertanyakan hal itu. Kulihat Andi
mendengus pelan, seakan merasa bersalah telah mengatakannya.
“Saya juga kurang tahu tepatnya,
saya hanya mendengar cerita dari Febria. Kira-kira enam tahun yang lalu, kak
Faith berhubungan dengan seorang lelaki …”
Darahku mendidih mendengar Andi
menceritkan hal itu. Apa yang dilakukan lelaki itu hingga membuat Faith
terpuruk?
“Lelaki itu tidak hanya
mencampakkan Kak
Faith demi perempuan lain, tapi juga membuat perusahaan Ayah bangkrut, membuat
mereka kehilangan harta mereka. Akhirnya mereka harus menempati rumah kontrakan
yang kecil. Ayah menjadi sakit-sakitan sejak saat itu, dan akhirnya beliau
meninggal.”
Aku mengepalkan tangan untuk
menahan emosi yang tiba-tiba naik. Laki-laki berengsek! Makiku dalam hati.
“Kak Faith merasa bersalah pada Bunda dan Febria. Sejak
saat itu, Kak
Faith berubah. Ia bekerja keras menghidupi keluarga. Ia tidak mengijinkan Bunda mau pun Febria
bekerja karena kak Faith merasa hal itu adalah tanggung jawabnya. Ia menjadi
lebih tertutup sekarang. Bahkan dia hampir tidak pernah mengunjungi Bunda. Kemarin saja,
kalau saya tidak meneleponnya karena Bunda
sakit, ia tidak pulang.”
Faith tidak tinggal di rumah Andi?
Jadi, orang yang menelepon Faith kemarin malam adalah Andi. Mataku sampai tidak
berkedip mendengar cerita masa lalu Faith, perempuanku, dari mulut Andi.
“Kau tahu, siapa lelaki brengsek
yang sudah membuat mereka menderita?” Aku menggeram pelan, berusaha menekan
emosiku dengan mengepalkan tanganku erat-erat. Andi menggeleng pelan.
“Febria tidak pernah mau
menceritakan tentang hal itu. Lagipula, semua sudah berubah. Kami tidak pernah
lagi membicarakannya karena menjaga perasaan Kak Faith. Kami takut ia masih hidup
dalam rasa bersalahnya. Kami tidak ingin mengungkitnya. Dan saya harap, Bapak
jangan mengungkit hal ini di depannya. Dia sudah terlalu banyak menderita dan
bekerja keras. Melihatnya sudah bangkit dari keterpurukan, membangun sebuah
usaha, dan menjalin hubungan lagi dengan seorang lelaki, sudah membuat kami
tenang. Kami tidak ingin membuatnya mengingat masa-masa terpuruknya.”
Aku mendengus pelan.
“Kau benar. Lalu, bodyguard-bodyguardnya? Apakah kau juga
mengenalnya?”
“Bodyguard?” Andi menatapku dengan alis berkerut.
“Mmph, maksudku,
sahabat-sahabatnya,” ralatku saat menyadari ucapanku.
“Oh, ya. Mereka memang lebih
seperti bodyguard dari pada sahabat.”
Andi terkekeh pelan.
“Kau mengenal mereka?” tanyaku
memastikan.
“Saya memang mengenal mereka, Pak. Mereka cukup
posesif menurut saya. Bunda bahkan mempercayakan Kak Faith pada mereka untuk dijaga. Saya
pikir, suatu saat Kak
Faith akan bersama dengan salah satu dari mereka, terutama Hyden. Dia terlihat
begitu perhatian pada Kak
Faith. Dia yang selalu ke rumah, sering berbicara pada Bunda tentang Kak Faith. Saya pikir …”
Ucapan Andi menggantung, tidak enak hati saat menatapku.
“Tidak apa-apa. Lanjutkan saja,”
ucapku mencoba tenang. Aku tahu, dari cerita Andi, lelaki bernama Hyden itu
salah satu ancaman bagiku. Dia pasti mempunyai perasaan lebih pada Faith. Siapa
pun bisa merasakannya.
“Saya pikir, dia adalah kekasih Kak Faith. Tapi
ternyata, anda lah, yang dipilih oleh Kak
Faith.” Andi tersenyum. Aku hanya tersenyum kecut. Dipilih? Aku bahkan belum mendapatkan
jawaban apa pun
dari mulutnya. Aku yang terlalu kepedean menjadi kekasih malaikat itu.
Seorang malaikat tanpa sayap. Dan
malaikat itu bernama Faith Aerilyn.
lanjutkan
0 komentar:
Posting Komentar