Aku melirik Keyna yang masih
terlelap di sampingku. Bangkit dari posisi
tidur, kemudian menatap jam di pergelangan tangan.
Jam lima pagi. Aku membuka resleting tenda dengan hati-hati, lalu melangkah ke luar
dan menutup tenda kembali. Suasana sangat sepi. Aku melirik dua tenda yang
lain, tidak ada aktifitas di sana. Berarti mereka semua juga masih terlelap.
Tidur di hotel sejuta bintang alias
di tenda, dengan dipayungi
sejuta bintang di langit seperti ini lebih istimewa dari pada hotel bintang
lima mana pun di dunia. Aku tersenyum lebar saat mendongak ke atas dan menatap beberapa
bintang yang masih setia menghiasi langit yang hampir terang ini. Sebentar lagi
matahari terbit, terlihat di langit timur mulai berwarna kuning keemasan.
Aku berjalan mendekati pantai.
Mendudukkan diri di pasir putih yang cukup jauh dari bibir pantai. Pantai masih
surut, belum kembali ke posisi semula. Aku memejamkan mata dan mulai menikmati
aroma laut yang sangat kurindukan. Entah berapa lama berada di posisi nyaman
ini, lalu aku merentangkan tangan untuk mengambil udara sebanyak-banyaknya.
Aku terlonjak kaget ketika tangan
kananku mengenai sosok yang seharusnya tidak ada di sini. Bukankah dari tadi aku
sendirian? Aku menoleh ke arah kanan dengan shock.
Ada Hyden di sana. Duduk di sebelahku, tidak jauh dariku.
“Sebenarnya aku tidak ingin
mengganggumu menikmati pemandangan ini. Aku hanya … nih, aku membuatkan cokelat
panas untukmu. Menikmati
aroma pantai dengan secangkir cokelat panas,
sangat istimewa, kan?” Hyden mengangsurkan cangkir yang berisikan cokelat panas.
Dengan sedikit ragu aku menerimanya. Sejenak jemari kami bersinggungan dan aku
merasakan hatiku berdesir.
Rasa ini masih ada. Rasa cinta
sekaligus sakit yang kurasa. Hatiku berkecamuk antara rindu setengah mati
kepada lelaki ini, juga sakit yang hampir sama ketika aku dicampakkan oleh
Reyhan … tidak, rasanya lebih sakit.
Dia mengatakan tidak ada perasaan
istimewa, tapi perlakuannya padaku masih tetap sama. Tetap membuatku merasa dia
memperhatikanku, memperhatikanku lebih dari pada perhatian Leo, Nikki atau pun Joshua.
“Kau masih marah tentang pesan
singkatku kemarin? Aku hanya bercanda. Jangan kau ambil hati seperti itu,”
ujarnya santai.
Aku mendengus kesal. Aku memang
masih marah tentang pesan singkat itu. Tapi bukan hanya itu. Aku masih tidak
bisa mengendalikan hatiku ketika bertemu dengannya. Aku bisa saja menjadi kolokan
ketika berada di dekatnya, sama seperti saat belum mengetahui perasaannya
padaku. Hatiku masih saja berdesir saat menatapnya. Aku marah. Marah kepada
diriku sendiri yang bodoh masih saja menyimpan rasa ini.
“Ayolah, maafkan aku.” Hyden mengacak
pelan rambutku. Tidak ada rasa canggung atau apa, sudah membuatku begitu
tersiksa dengan penolakannya mentah-mentah padaku enam bulan lalu. Dia tetap
bersikap hangat padaku. Bagaimana aku bisa melupakannya kalau dia tetap saja bersikap
sama seperti biasanya? Dengan cepat aku menepis tangannya dari kepalaku, lalu
menyesap cokelat panas di tanganku untuk menutupi rasa aneh di dada.
“Kenapa kau berubah, Faith?” tanyanya
lagi ketika aku tidak menunjukkan respon apa pun.
Aku menghela nafas. Lalu aku harus
tidak berubah, menunjukkan hal yang sama seperti saat aku merasa dia begitu
mencintaiku? Sebenarnya apa maunya?
“Faith….” Aku tahu dia sedang
menatapku. Aku tidak ingin menatapnya. Menatapnya berarti membuatnya melihat
rasa cinta sekaligus terluka di mataku.
“Kau benar-benar tidak ingin
melihatku, eh?” Hyden menarik bahuku hingga aku menghadap dirinya. Sejenak aku
menatap mata kelamnya, lalu mengalihkan pandanganku agar tidak menatapnya.
“Lihat aku.” Kini jemarinya memaksa
daguku untuk memalingkan wajah padanya.
“Aku minta maaf … aku tidak ingin
kita menjadi seperti ini.” Mata kelamnya menatapku.
“Bukankah kau sendiri yang mau
seperti ini? Jangan berlebihan terhadapmu, jangan mempunyai perasaan lebih
terhadapmu, jangan menganggapmu lebih dari sahabat. Itu yang membuatmu bahagia
kan? Aku hanya berusaha membuatmu bahagia,” desisku pelan, berusaha mengalihkan
pandanganku dari wajahnya.
Rasa sakit menyeruak di dadaku. Aku berusaha membuatmu bahagia, dan
membiarkan diriku sendiri begitu terluka, tambahku dalam hati. Aku menahan
air mata agar tidak menetes.
“Tapi tidak dengan cara
menghindariku terus-terusan seperti ini kan? Ini menyiksaku, Faith. Aku tidak
ingin seperti ini,” ujarnya pelan.
Aku menghela nafas panjang. Tidakkah
ia tahu, hal ini lebih menyiksaku? Aku tidak ingin seperti ini. Menghindarinya
juga membuatku sakit. Tapi, melihatnya lebih menyakitkan bagiku.
“Bukan … bukan seperti ini maksudku.
Kau berbeda. Kau malah seakan-akan menganggapku tidak ada. Tidakkah kita bisa seperti
biasanya saja?” tambahnya lagi.
“Lalu aku harus bagaimana? Berusaha
bersikap biasa, bercanda tertawa seperti biasanya denganmu, seakan-akan tidak
terjadi apa-apa? Tidakkah kau mengerti perasaanku? Aku baru mencoba, Hyden.
Mencoba menghapus rasa ini, seperti yang kau mau. Kau tidak tau kan, betapa
sulitnya aku menghapus perasaan ini kalau aku selalu melihatmu? Kau tak tahu
rasa sakitnya….” Air mataku menetes. Cepat-cepat aku menghapusnya, lalu
mengalihkan pandanganku ke arah lain. Aku yakin dia sempat melihatnya.
“Maafkan aku. Aku hanya ... kau
tahu, aku tidak pernah menjalin hubungan dengan orang yang dekat denganku,
apalagi dengan sahabatku. Aku merasa aneh. Aku benar-benar merasa seharusnya
persahabatan kita tidak seperti ini. Apakah aku salah, jika aku jujur padamu
tentang perasaanku ini, Faith?”
“Tidak. Tentu saja kau tidak salah.
Aku yang salah sudah salah paham tentang perasaanmu padaku,” ujarku sinis.
“Bukan … bukan begitu maksudku,
Faith. Kau juga tidak salah. Aku tidak pernah menyalahkanmu tentang perasaan
itu. Aku hanya menginginkan kita kembali seperti semula.” Hyden menatapku
lekat.
Aku menggeleng pelan. Bukankah
semua sudah berubah? Sejak ada rasa ini, hubunganku dengan Hyden bukannya tidak
lagi sama?
“Ternyata persahabatan dan cinta
kadang bernasib sama, bukan?” Hyden
terkekeh pelan.
Aku menoleh ke arahnya, menatapnya
seakan bertanya apa maksud ucapannya barusan.
“Cinta dan persahabatan kadang
bernasib sama. Selalu dikorbankan
demi salah satunya.” Seolah tahu apa yang kupikirkan, ia menjelaskan maksud
ucapannya.
“Aku tidak mengerti,” Aku
menggenggam erat-erat cangkirku,
seakan mencoba mentransferkan kegalauan pada secangkir coklat panas ini.
“Sama sepertimu. Mengorbankan
persahabatan kita, demi perasaanmu yang kau sebut dengan cinta.” Hyden tertawa
sinis.
“Aku tidak ...” Mulutku terkatup,
tidak tahu harus melanjutkan bagaimana.
“Tidak apa?” tanya Hyden.
“Kau yang selalu menginginkan aku
cepat-cepat move on dari Reyhan.
Mengubur rasa sakit yang kurasakan karena penghianatannya, karena segala yang
dilakukannya pada keluargaku. Kau yang selalu di sampingku, kau lebih perhatian
dari pada Nikki, Leo mau pun Joshua. Kau yang selalu menginginkan untuk aku
membuka hati buat yang lain. Kau bilang, siapa tahu jodohku ada di dekatku,
tapi aku tidak menyadarinya. Kau yang selalu memberikan perhatian berlebih
padaku. Kau yang membuatku berpikir kalau kau mempunyai perasaan yang lebih
padaku dan aku mulai membuka hati padamu. Kau bilang, aku mengorbankan
persahabatan? Aku sedang berusaha melupakan rasa ini, Hyden. Aku mengorbankan
perasaanku, demi hubungan yang kau katakan persahabatan itu.” Nada suaraku
mulai tinggi. Kenapa dia sama sekali tidak bisa mengerti apa yang kurasakan
ini?
“Lalu aku harus bagaimana? Aku
harus menerimamu, agar persahabatan kita kembali seperti semula? Baiklah, kalau
itu maumu.” Suara Hyden juga ikut meninggi.
“Apa??” Aku menatapnya nanar. Dia
pikir aku mau menjadi kekasihnya dengan alasan seperti itu? Aku memang
mencintainya, tapi aku tidak akan mau menjadi kekasih lelaki yang tidak
memiliki perasaan yang sama seperti apa yang aku rasakan.
“Kau pikir aku mau menjadi
kekasihmu, setelah apa yang kau katakan barusan? Aku memang mencintaimu, tapi
aku tidak berharap menjadi kekasih seseorang yang tidak mempunyai perasaan yang
sama sepertiku.” Aku mendesis marah, meletakkan cangkir yang dari tadi
kugenggam, bermaksud pergi dari samping lelaki ini.
“Faith …” Hyden merengkuh
tubuhku.
“Maafkan aku, aku tidak bermaksud ...” Aku menepiskan
lengannya, lalu bangkit berdiri.
“Tetaplah di sini.” Hyden menahan
pergelangan tanganku, menarikku untuk duduk kembali. Aku kembali menepiskan
tangannya, lalu membalikkan badan, setengah berlari menjauhinya.
“Faith..!!” Hyden mengejarku,
berusaha menggapai tanganku yang ku tepiskan berkali-kali hingga Nikki
menahanku.
“Ada apa?” tanya Nikki seraya
menatapku dan Hyden bergantian.
“Aku mau pulang,” ucapku hampir
terisak.
“Faith, please….” Hyden kembali menggapai tanganku, secepat kilat aku
menepiskan tangannya.
“Ada apa? Apa yang terjadi, Hyden?”
Nikki kembali bertanya. Hyden hanya mengangkat bahu, seperti biasanya, ia tidak
suka menjelaskan apa pun.
“Nikki, aku mau pulang,” pintaku
seraya memasang wajah memelas padanya.
“Nanti,”
“Sekarang, Nikki.”
“Kubilang nanti, ya
nanti,” sergahnya, membuatku mencebik kesal.
Nikki selalu bisa mendominasiku.
0 komentar:
Posting Komentar