Sekian Waktu Berlalu #4

Aku melirik Keyna yang masih terlelap di sampingku. Bangkit dari posisi tidur, kemudian menatap jam di pergelangan tangan. Jam lima pagi. Aku membuka resleting tenda dengan hati-hati, lalu melangkah ke luar dan menutup tenda kembali. Suasana sangat sepi. Aku melirik dua tenda yang lain, tidak ada aktifitas di sana. Berarti mereka semua juga masih terlelap.
Tidur di hotel sejuta bintang alias di tenda, dengan dipayungi sejuta bintang di langit seperti ini lebih istimewa dari pada hotel bintang lima mana pun di dunia. Aku tersenyum lebar saat mendongak ke atas dan menatap beberapa bintang yang masih setia menghiasi langit yang hampir terang ini. Sebentar lagi matahari terbit, terlihat di langit timur mulai berwarna kuning keemasan.
Aku berjalan mendekati pantai. Mendudukkan diri di pasir putih yang cukup jauh dari bibir pantai. Pantai masih surut, belum kembali ke posisi semula. Aku memejamkan mata dan mulai menikmati aroma laut yang sangat kurindukan. Entah berapa lama berada di posisi nyaman ini, lalu aku merentangkan tangan untuk mengambil udara sebanyak-banyaknya.
Aku terlonjak kaget ketika tangan kananku mengenai sosok yang seharusnya tidak ada di sini. Bukankah dari tadi aku sendirian? Aku menoleh ke arah kanan dengan shock. Ada Hyden di sana. Duduk di sebelahku, tidak jauh dariku.
“Sebenarnya aku tidak ingin mengganggumu menikmati pemandangan ini. Aku hanya … nih, aku membuatkan cokelat panas untukmu. Menikmati aroma pantai dengan secangkir cokelat panas, sangat istimewa, kan?” Hyden mengangsurkan cangkir yang berisikan cokelat panas. Dengan sedikit ragu aku menerimanya. Sejenak jemari kami bersinggungan dan aku merasakan hatiku berdesir.
Rasa ini masih ada. Rasa cinta sekaligus sakit yang kurasa. Hatiku berkecamuk antara rindu setengah mati kepada lelaki ini, juga sakit yang hampir sama ketika aku dicampakkan oleh Reyhan … tidak, rasanya lebih sakit.
Dia mengatakan tidak ada perasaan istimewa, tapi perlakuannya padaku masih tetap sama. Tetap membuatku merasa dia memperhatikanku, memperhatikanku lebih dari pada perhatian Leo, Nikki atau pun Joshua.
“Kau masih marah tentang pesan singkatku kemarin? Aku hanya bercanda. Jangan kau ambil hati seperti itu,” ujarnya santai.
Aku mendengus kesal. Aku memang masih marah tentang pesan singkat itu. Tapi bukan hanya itu. Aku masih tidak bisa mengendalikan hatiku ketika bertemu dengannya. Aku bisa saja menjadi kolokan ketika berada di dekatnya, sama seperti saat belum mengetahui perasaannya padaku. Hatiku masih saja berdesir saat menatapnya. Aku marah. Marah kepada diriku sendiri yang bodoh masih saja menyimpan rasa ini.
“Ayolah, maafkan aku.” Hyden mengacak pelan rambutku. Tidak ada rasa canggung atau apa, sudah membuatku begitu tersiksa dengan penolakannya mentah-mentah padaku enam bulan lalu. Dia tetap bersikap hangat padaku. Bagaimana aku bisa melupakannya kalau dia tetap saja bersikap sama seperti biasanya? Dengan cepat aku menepis tangannya dari kepalaku, lalu menyesap cokelat panas di tanganku untuk menutupi rasa aneh di dada.
“Kenapa kau berubah, Faith?” tanyanya lagi ketika aku tidak menunjukkan respon apa pun.
Aku menghela nafas. Lalu aku harus tidak berubah, menunjukkan hal yang sama seperti saat aku merasa dia begitu mencintaiku? Sebenarnya apa maunya?
“Faith….” Aku tahu dia sedang menatapku. Aku tidak ingin menatapnya. Menatapnya berarti membuatnya melihat rasa cinta sekaligus terluka di mataku.
“Kau benar-benar tidak ingin melihatku, eh?” Hyden menarik bahuku hingga aku menghadap dirinya. Sejenak aku menatap mata kelamnya, lalu mengalihkan pandanganku agar tidak menatapnya.
“Lihat aku.” Kini jemarinya memaksa daguku untuk memalingkan wajah padanya.
“Aku minta maaf … aku tidak ingin kita menjadi seperti ini.” Mata kelamnya menatapku.
“Bukankah kau sendiri yang mau seperti ini? Jangan berlebihan terhadapmu, jangan mempunyai perasaan lebih terhadapmu, jangan menganggapmu lebih dari sahabat. Itu yang membuatmu bahagia kan? Aku hanya berusaha membuatmu bahagia,” desisku pelan, berusaha mengalihkan pandanganku dari wajahnya.
Rasa sakit menyeruak di dadaku. Aku berusaha membuatmu bahagia, dan membiarkan diriku sendiri begitu terluka, tambahku dalam hati. Aku menahan air mata agar tidak menetes.
“Tapi tidak dengan cara menghindariku terus-terusan seperti ini kan? Ini menyiksaku, Faith. Aku tidak ingin seperti ini,” ujarnya pelan.
Aku menghela nafas panjang. Tidakkah ia tahu, hal ini lebih menyiksaku? Aku tidak ingin seperti ini. Menghindarinya juga membuatku sakit. Tapi, melihatnya lebih menyakitkan bagiku.
“Bukan … bukan seperti ini maksudku. Kau berbeda. Kau malah seakan-akan menganggapku tidak ada. Tidakkah kita bisa seperti biasanya saja?” tambahnya lagi.
“Lalu aku harus bagaimana? Berusaha bersikap biasa, bercanda tertawa seperti biasanya denganmu, seakan-akan tidak terjadi apa-apa? Tidakkah kau mengerti perasaanku? Aku baru mencoba, Hyden. Mencoba menghapus rasa ini, seperti yang kau mau. Kau tidak tau kan, betapa sulitnya aku menghapus perasaan ini kalau aku selalu melihatmu? Kau tak tahu rasa sakitnya….” Air mataku menetes. Cepat-cepat aku menghapusnya, lalu mengalihkan pandanganku ke arah lain. Aku yakin dia sempat melihatnya.
“Maafkan aku. Aku hanya ... kau tahu, aku tidak pernah menjalin hubungan dengan orang yang dekat denganku, apalagi dengan sahabatku. Aku merasa aneh. Aku benar-benar merasa seharusnya persahabatan kita tidak seperti ini. Apakah aku salah, jika aku jujur padamu tentang perasaanku ini, Faith?”
“Tidak. Tentu saja kau tidak salah. Aku yang salah sudah salah paham tentang perasaanmu padaku,” ujarku sinis.
“Bukan … bukan begitu maksudku, Faith. Kau juga tidak salah. Aku tidak pernah menyalahkanmu tentang perasaan itu. Aku hanya menginginkan kita kembali seperti semula.” Hyden menatapku lekat.
Aku menggeleng pelan. Bukankah semua sudah berubah? Sejak ada rasa ini, hubunganku dengan Hyden bukannya tidak lagi sama?
“Ternyata persahabatan dan cinta kadang bernasib sama, bukan?” Hyden terkekeh pelan.
Aku menoleh ke arahnya, menatapnya seakan bertanya apa maksud ucapannya barusan.
“Cinta dan persahabatan kadang bernasib sama. Selalu dikorbankan demi salah satunya.” Seolah tahu apa yang kupikirkan, ia menjelaskan maksud ucapannya.
“Aku tidak mengerti,” Aku menggenggam erat-erat cangkirku, seakan mencoba mentransferkan kegalauan pada secangkir coklat panas ini.
“Sama sepertimu. Mengorbankan persahabatan kita, demi perasaanmu yang kau sebut dengan cinta.” Hyden tertawa sinis.
“Aku tidak ...” Mulutku terkatup, tidak tahu harus melanjutkan bagaimana.
“Tidak apa?” tanya Hyden.
“Kau yang selalu menginginkan aku cepat-cepat move on dari Reyhan. Mengubur rasa sakit yang kurasakan karena penghianatannya, karena segala yang dilakukannya pada keluargaku. Kau yang selalu di sampingku, kau lebih perhatian dari pada Nikki, Leo mau pun Joshua. Kau yang selalu menginginkan untuk aku membuka hati buat yang lain. Kau bilang, siapa tahu jodohku ada di dekatku, tapi aku tidak menyadarinya. Kau yang selalu memberikan perhatian berlebih padaku. Kau yang membuatku berpikir kalau kau mempunyai perasaan yang lebih padaku dan aku mulai membuka hati padamu. Kau bilang, aku mengorbankan persahabatan? Aku sedang berusaha melupakan rasa ini, Hyden. Aku mengorbankan perasaanku, demi hubungan yang kau katakan persahabatan itu.” Nada suaraku mulai tinggi. Kenapa dia sama sekali tidak bisa mengerti apa yang kurasakan ini?
“Lalu aku harus bagaimana? Aku harus menerimamu, agar persahabatan kita kembali seperti semula? Baiklah, kalau itu maumu.” Suara Hyden juga ikut meninggi.
“Apa??” Aku menatapnya nanar. Dia pikir aku mau menjadi kekasihnya dengan alasan seperti itu? Aku memang mencintainya, tapi aku tidak akan mau menjadi kekasih lelaki yang tidak memiliki perasaan yang sama seperti apa yang aku rasakan.
“Kau pikir aku mau menjadi kekasihmu, setelah apa yang kau katakan barusan? Aku memang mencintaimu, tapi aku tidak berharap menjadi kekasih seseorang yang tidak mempunyai perasaan yang sama sepertiku.” Aku mendesis marah, meletakkan cangkir yang dari tadi kugenggam, bermaksud pergi dari samping lelaki ini.
“Faith …” Hyden merengkuh tubuhku.
“Maafkan aku, aku tidak bermaksud ...” Aku menepiskan lengannya, lalu bangkit berdiri.
“Tetaplah di sini.” Hyden menahan pergelangan tanganku, menarikku untuk duduk kembali. Aku kembali menepiskan tangannya, lalu membalikkan badan, setengah berlari menjauhinya.
“Faith..!!” Hyden mengejarku, berusaha menggapai tanganku yang ku tepiskan berkali-kali hingga Nikki menahanku.
“Ada apa?” tanya Nikki seraya menatapku dan Hyden bergantian.
“Aku mau pulang,” ucapku hampir terisak.
“Faith, please….” Hyden kembali menggapai tanganku, secepat kilat aku menepiskan tangannya.
“Ada apa? Apa yang terjadi, Hyden?” Nikki kembali bertanya. Hyden hanya mengangkat bahu, seperti biasanya, ia tidak suka menjelaskan apa pun.
“Nikki, aku mau pulang,” pintaku seraya memasang wajah memelas padanya.
“Nanti,”
“Sekarang, Nikki.”
“Kubilang nanti, ya nanti,” sergahnya, membuatku mencebik kesal. Nikki selalu bisa mendominasiku. 

0 komentar:

Posting Komentar

 

PIEXAWORLD Published @ 2014 by Ipietoon