Aku terpaku ketika melihat sosok Reyhan di kafe
ini, tengah duduk di tempat reservasi atas namaku. Ia bersama seorang
perempuan. Aku menatap Keyna. Tidak kusangka Keyna juga menatapku. Tatapannya
mengisyaratkan ia juga tidak tahu apa-apa.
“Kita pergi saja,” usul Keyna sambil menahan
tanganku.
“Sudahlah … bukankah kita harus profesional?” Aku
menghela nafas panjang, mengatur debar jantungku yang semakin meningkat.
“Kenapa Vira terima orderan dari dia sih? Kenapa
bisa kecolongan begini?” Keyna terlihat gusar.
“Bukan salahnya. Meeting kita atas nama Frissa, kan? Bukan Reyhan. Tidak apa-apa, Keyna.
Aku janji akan menguasai diriku. Everything
gonna be oke. I promise you.” Aku berusaha meyakinkan Keyna. Ia hanya
mendesah pasrah kemudian melanjutkan langkahnya menuju meja reservasi
itu.
“Sudah lama menunggu?” Keyna memamerkan senyum
palsunya disambut senyuman dari kedua orang yang sedang duduk berdampingan itu.
“Tidak. Kami juga baru sampai lima menit yang
lalu,” jawab perempuan yang berada di samping Reyhan dengan lembut.
“Panggil saya Keyna. Dan ini Faith,” ucapnya pada perempuan
itu. Ia membalas jabat tangan Keyna dan mengulurkan tangan padaku,
“Frissa,” ucapnya.
Aku membalas jabat tangannya, kemudian menatap
perempuan di depanku ini. Dia biasa saja. Tampak tidak istimewa di
mataku. Cantiknya relatif, seperti perempuan pada umumnya. Tapi matanya
memancarkan kelembutan dan dia sopan. Sungguh tidak pantas bersanding dengan
seorang Reyhan yang berengsek.
“Faith.”
“Dan kalian pasti sudah kenal dengan Reyhan,kan? Reyhan
mengatakan kalian sudah saling kenal. Aku sudah melihat portofolio di websitemu. Karyamu
sungguh istimewa Faith,” ujar Frissa lembut.
Aku melihat inner
beauty yang kuat dalam diri Frissa. Meski pun tampak seperti perempuan
biasa, ia sangat menarik perhatian. Baru sebentar aku bertemu dengannya saja
aku sudah bisa melihat aura yang mempesona itu. Pantas saja Reyhan jatuh cinta
padanya. Sayang sekali jika ia mendapatkan pasangan seperti Reyhan.
“Terima kasih. Bisa kita
mulai meeting kita?” timpalku tanpa
basa-basi. Frissa mengangguk.
Aku mengkode Freddie, salah satu pengurus kafe ini
untuk memesan menu. Ia segera menghampiri meja kami dengan buku menu di
tangannya.
“Saya merekomendasikan Marschoco di sini. Tetapi, jika kalian punya pilihan lain,
silakan,” ujarku basa-basi.
“Aku cappuccino
latte saja,” ujar Frissa. Pesanannya dicatat oleh Freddie.
“Aku sama dengannya,” tambah Reyhan.
“Seperti biasa, miss?” tanya Freddie sambil
tersenyum lebar. Aku menyeringai.
“Tentu saja. Kau juga kan, Keyna?” Keyna mengangguk
asal. Ia sedang mengeluarkan notebooknya
“Baiklah,” jawab Freddie. Ia tersenyum dan berlalu.
Meeting kali ini lebih
didominasi oleh Keyna. Ia yang lebih banyak menanyakan dan memberikan solusi
tentang konsep yang mereka inginkan. Aku hanya sesekali menambahkan jika ada
yang terlewat. Aku hampir tidak bisa konsentrasi pada meeting ini karena menemukan fakta-fakta baru tentang hubungan
Reyhan dan Frissa. Mereka sudah berpacaran selama hampir delapan tahun. Frissa
sempat kuliah dan tinggal di Amerika beberapa tahun dan sekarang ia menetap di
kota ini.
Jadi, selama ini, Reyhan menduakan gadis ini? Dan aku hanya salah
satu selingkuhannya?? Oh Tuhan ... aku berusaha untuk tidak meledakkan emosi di
sini. Profesional Faith, aku harus profesional, aku merapalkan kata-kata itu di
dalam hati seperti mantra agar aku tidak lepas kendali.
Aku hampir terlonjak kaget saat merasakan seseorang
merengkuh bahuku dan berbisik pelan,
“Aku di sini. Tenanglah, everything will be okey.”
Aku mendongak, menatap wajah lelaki paling dewasa
di antara keempat sahabatku. Nikki. Bagaimana
ia bisa sampai di sini? Aku menatap
Keyna sekilas, Keyna hanya tersenyum simpul, menyadarkanku bahwa ia yang
menghubungi Nikki. Aku menyunggingkan senyum pada Nikki, seakan mengatakan aku
baik-baik saja.
“Apakah aku mengganggu meeting kalian?” tanya Nikki. Ia
menyunggingkan senyum padaku, lalu terlihat sekilas ia menatap dingin pada
Reyhan. Dan sudah kuduga, Reyhan terlihat salah tingkah mendapatkan pandangan
dingin dari Nikki.
“Apa kabar, Nikki?” Reyhan menyunggingkan senyum
kaku.
“Seperti yang kau lihat,” jawab Nikki acuh. Aku
menelan ludah mendengar percakapan dua lelaki di
hadapanku ini. Aku tahu Nikki adalah orang yang mampu menahan emosi,
tapi ia tipe orang yang bisa mendominasi orang lain sehingga lawan bicaranya
akan merasa terintimidasi. Dan sepertinya ia dapat mengintimidasi Reyhan dengan
tatapannya.
“Berarti semua sudah fix ya. Tinggal tunggu waktu pemotretannya. Ada yang lain, yang
ingin kalian tanyakan?” Keyna menutup notebooknya
lalu menatap Reyhan dan Frissa bergantian, berusaha mengalihkan suasana kaku
yang baru saja terjadi.
“Kurasa sudah cukup jelas,” jawab Reyhan cepat.
Sepertinya ia ingin cepat-cepat menghilang dari hadapan Nikki.
“Kalau begitu, kita bertemu di
pemotretan satu minggu lagi. Oya, tagihan di kafe ini juga sudah termasuk paket
yang kalian ambil, jadi,
kami yang akan membayarnya,” ujarku sambil bangkit berdiri disusul Keyna dan
Nikki.
“Kalau kalian masih ingin menambah
sesuatu katakan saja pada pelayan di sana. Kami permisi dulu,” tambahku lalu
menjabat tangan Reyhan dan Frissa bergantian. Nikki merangkulku keluar dari
kafe.
“Kau hebat, kau bisa bersikap profesional,
Faith. Kalau saja ini bukan meeting
pekerjaanmu, aku pasti akan menghabisi lelaki itu sekarang juga,” bisiknya saat
ia melihat wajahku yang merah menahan emosi.
“Andai saja aku tidak mengingat dia
itu klien kita, aku sudah memaki-makinya dan membeberkan perselingkuhannya itu.
Biar saja ia batal menikah. Aku benar-benar tidak habis pikir, bisa-bisanya ia
mempermainkan perempuan seperti itu.” Mata Keyna berapi-api.
“Perselingkuhan?”
Nikki melirik Keyna lalu menatapku penuh ingin tahu.
“Berita seperti apa lagi yang
kalian temukan di sana?” tanya
Nikki terdengar sinis.
“Kau tahu, kekasih Reyhan itu
bercerita kalo mereka itu berpacaran sudah hampir delapan tahun. Itu berarti
kan ... selama ini …” Keyna tidak melanjutkan kata-katanya. Ia memandangku iba.
“Ternyata aku hanya salah seorang
selingkuhannya.” Aku melanjutkan kata-kata Keyna dengan frustasi.
“Keyna, Faith akan ikut denganku.
Kau bawa saja mobil Faith,” ucap Nikki pada Keyna, seakan tidak mempedulikan
ucapanku barusan. Sepertinya Nikki tidak ingin membahas masalah ini lagi.
“Baiklah.” Keyna mengangguk, lalu
meminta kunci mobilku. Aku memberikannya
lalu mengikuti Nikki menuju mobilnya.
“Jangan katakan apa pun pada Hyden,
oke?” Aku setengah merajuk pada Nikki setelah ia menjalankan mobilnya.
“Sayangnya, dia sudah tahu.”
“Lalu?”
“Tentu saja dia marah besar.
Katanya, ia mau menghabisi Reyhan saat itu juga. Sayangnya, sekarang ia sedang
berada di perjalanan bersama travel agennya.
Lagi pula, kau sudah pernah melarangnya berurusan dengan Reyhan. Kurasa ia
butuh banyak waktu untuk menenangkan diri sebelum bertemu denganmu. Kau tahu
dia sangat temperamental. Ia sulit mengendalikan diri ketika sedang emosi. Sebenarnya,
dia itu perhatian padamu, Faith. Dia tidak mau kau terluka. Dia sayang padamu
sama seperti kami menyayangimu. Ayolah, jangan menghukum dia seperti ini. Kasihan
dia,” ujar Nikki sungguh-sungguh.
“Menghukum apa? Siapa menghukum
siapa, maksudmu?” Aku mendengus pelan.
“Sikapmu padanya. Kadang tidak
ingin bertemu dengannya, kadang tidak ingin ditinggal olehnya. Bukan kau saja
yang merasa bersalah dengan keadaan ini, Faith. Dia lebih merasa bersalah
padamu. Kau tahu kan, cinta tidak bisa dipaksakan, jadi….” Nikki memandangku
dengan wajah innocentnya.
“Aku tidak pernah memaksanya, kau
tahu itu. Aku pun
sedang berusaha menata hatiku. Berusaha mengkikis rasa itu dari hatiku. Bukan
aku tidak ingin bertemu dengannya. Kau tahu, aku pun tidak bisa
mengendalikan diri jika bersamanya. Seperti kemarin itu. Aku juga tidak ingin
seperti itu.”
Aku mengalihkan pandangan mataku agar tidak terlihat oleh Nikki. Aku tidak
ingin Nikki melihat rasa sakit yang kurasakan sekarang.
“Sudahlah, aku sedang tidak ingin membahasnya,”
tambahku sambil
menatap pemandangan di luar jendela mobil Nikki.
“Faith,”
Aku mengalihkan pandanganku ke arah Nikki dengan
tatapan malas. Aku tahu setelah ini Nikki tidak akan berkomentar apa pun karena saat aku
menatapnya seperti itu,
Nikki tahu aku sedang benar-benar tidak ingin membahas apa pun dengannya. Dan
tepat seperti dugaanku, ia menghela nafas panjang dan tidak bersuara lagi di sepanjang perjalanan.
0 komentar:
Posting Komentar