Sudah hampir satu jam aku
menyandarkan tubuh di kursi kerja sambil menatap layar PC. Otakku sudah tidak
bisa diajak kompromi lagi. Sepertinya aku butuh refreshing. Melirik cangkir kopi yang telah kosong, aku bangkit, berniat
untuk membuat secangkir kopi lagi, kemudian terduduk kembali, mengurungkan
niatku. Dokter bilang aku harus mengurangi bahkan menghentikan konsumsi pada
kopi.
Ketika masih dalam masa-masa
terpuruk, setelah terlepas dari
ketergantungan obat penenang, aku sering sekali minum
kopi demi menghilangkan sakit kepala yang selalu
datang tiba-tiba. Terlalu banyak minum kopi membuat katup jantungku tidak
bekerja dengan maksimal.
Bisa
dikatakan aku kecanduan kopi, tapi
tentu saja aku tidak bisa menghentikan kebiasaan minum kopi secara langsung.
Aku pernah mencoba untuk sama sekali tidak minum kopi. Dan tahu apa yang
terjadi? Aku seperti manusia tanpa otak. Tidak bisa berpikir atau bertindak apa
pun. Terkadang malah membuat sakit kepala yang berlebihan jika aku memaksakan
untuk sedikit berpikir keras. Akhirnya aku hanya mengurangi dosis kopiku, dari
enam kali menjadi dua kali sehari.
Sebuah panggilan dari ponsel
mengembalikan kesadaranku. Aku meraih ponsel yang terletak di atas meja, dan melihat
nama Anton di sana.
Anton adalah salah seorang admin grup fotografi yang aku ikuti.
“Halo,”
“Minggu
depan ada rencana hunting, Faith. Siapkan persenjataanmu.”
Terdengar Anton terkekeh pelan.
“Kali ini tema apa?” tanyaku ingin
tahu. Aku butuh refreshing. Mungkin dengan
hunting bersama komunitas fotografi
ini dapat me-refresh-kan otakku yang sudah
hampir membeku ini.
“Bikini sexy,” jawab Anton sambil terbahak yang tentu saja membuatku
otomatis mencebik.
“Apakah tidak ada tema yang
lainnya? Dasar pria-pria mesum.”
“Tenang saja, Faith. Kali ini kita menyediakan pria sexy untukmu.”
Aku terbahak mendengar kata-kata Anton barusan.
“Sialan! Kalian mengajariku untuk
menjadi manusia mesum juga seperti kalian?” Aku menyeringai mendengar derai
tawa Anton.
“Waktu dan tempat eksekusi kuhubungi nanti ya. See yaa, Faith.”
Anton menutup sambungan teleponnya.
Aku tertawa perlahan. Lama-lama aku
juga ikut mesum kalau sering bergaul dengan mereka. Tapi, komunitas ini
mempunyai andil besar dalam perjuanganku selama ini. Dalam komunitas ini aku
banyak belajar menjadi seorang fotografer yang baik dan benar.
Aku sudah puluhan bahkan ratusan
kali ikut acara hunting bersama komunitas
yang diketuai oleh Anton. Tema hunting mereka
kebanyakan tidak jauh dari cewek-cewek sexy.
Dan bisa ditebak, aku adalah satu-satunya perempuan dikalangan
fotografer-fotografer itu. Memang sih kalau di grup sosial media, banyak
perempuan yang ikut meramaikan grup. Tapi kalau ada acara hunting bersama, mereka selalu hilang entah ke mana. Alhasil aku
selalu berakhir dengan wajah merah seperti tomat ketika para model itu
menunjukkan keseksiannya di hadapan fotografer. Mungkin itu yang membuatku
tidak ingin memotret model. Aku hanya fokus pada tema prewedding saja.
Kumatikan PC, kemudian beranjak ke
sofa. Mataku sudah mulai berair. Capek sekali. Kulirik jam dinding, sudah
menunjukkan pukul delapan. Merebahkan tubuhku di sofa, mencoba memejamkan mata
untuk sejenak.
Ponselku bergetar.
Sebuah pesan singkat dari Hyden.
Aku tercekat. Hyden? Sudah lama ia tidak menghubungiku. Setelah insiden itu,
aku mulai menghindarinya, tidak ingin bertemu dengannya. Sekarang ia
mengirimkan pesan singkat kepadaku?
From: Hyden
Kita ada rencana
ke pantai. Kau bisa ikut kan?
Aku menghela nafas. Seharusnya
Joshua sudah memberitahunya kalau aku tidak akan ikut mereka. Dengan cepat aku
mengetikkan jari-jariku di keypad
smartphone.
To: Hyden
Maaf. Sepertinya
kali ini aku tidak bisa ikut.
Sebuah pesan singkat lagi.
From: Hyden
Aku tidak akan
ikut, jika itu bisa membuatmu ikut ke pantai bersama mereka. Tidakkah kau rindu
pada mereka?
Sepertinya Hyden merasa kalau aku
mulai menjauhinya. Ahh, itu kan memang benar. Melihatnya saja aku bisa kembali
galau, apalagi bersama-sama menghabiskan waktu di pantai seperti enam bulan
yang lalu itu. Tapi aku kan tidak bisa mengatakan hal itu kepadanya. Bukan
salahnya jika dia tidak mempunyai perasaan lebih padaku. Akulah yang salah
mengartikan sikapnya. Di sini, akulah yang salah.
To: Hyden
Itu tidak ada
hubungannya denganmu. Aku benar-benar sibuk hingga tidak bisa bersama kalian.
Sampaikan permintaan maafku pada mereka.
Aku membalas pesan singkat itu
dengan cepat.
From: Hyden
Bagaimana jika
kita membayar waktumu yang berharga itu, bisakah kau menghabiskan waktu bersama
sahabat-sahabatmu ini, Faith?
Aku terbelalak membaca balasan
pesan singkat dari Hyden. Apa-apaan dia mengirim pesan singkat seperti ini??
To: Hyden
Sepertinya sudah
cukup. Kau melukai perasaanku.
Aku melempar ponselku ke sofa.
Ingin rasanya berteriak memaki lelaki itu. Tidak cukupkah dia melukai hatiku
sedemikian rupa, sekarang ia kembali melukai perasaanku dengan menganggapku
lebih mementingkan uang dari pada sahabat? Seharusnya dia tahu, aku benar-benar
tidak ingin menemuinya. Aku ingin melupakan perasaan ini dan hal itu tidak akan
mungkin jika aku selalu melihatnya.
Ponselku tiba-tiba berdering. Aku
meraih ponsel yang baru saja terlempar di sofa. Kalau saja Hyden yang
meneleponku, aku akan benar-benar memakinya. Ternyata Keyna yang menelepon. Ada
apa ia menelepon malam-malam begini? Bukankah ia sedang nonton bersama Joshua?
“Ya, Keyna.” Aku mengangkat telepon
darinya.
“Kau
di dalam, Faith? Tolong bukakan pintunya. Ada barangku yang tertinggal,” ujarnya
di ujung sana. Aku mendengus pelan.
“Ya. tunggu sebentar.” Aku
mematikan sambungan telepon, kemudian
dengan asal kulempar ponsel ke sofa. Beranjak ke pintu, membuka deretan kunci,
kemudian membuka pintu.
“Apa yang terting … mmpphh.” Aku
tidak sempat menyelesaikan kata-kataku karena tiba-tiba sebuah tangan kokoh
membekapku, menarikku dengan paksa.
“Cepat kunci pintunya!” Aku
mendengar suara yang tidak asing di telingaku.
Aku meronta berusaha melihat orang
yang menyekapku, tapi lengan kokoh itu benar-benar membuatku tidak bisa
berkutik. Lengan kanannya membekap mulut, lengan kirinya mendekap perut dan
menarikku untuk memasuki sebuah mobil.
“Aarrghh … makanmu apa sih,
tenagamu kuat sekali.” Suara itu kembali terdengar. Seketika ia melepaskan
tangannya. Aku mendongak melihat sekeliling. Sialan! Orang-orang di mobil itu
malah cekikikan.
“Ayo, jalankan mobilnya,” ujar Leo
yang berada di sebelah kananku. Aku menatap Joshua di kemudi dan Keyna di sebelahnya,
memamerkan kunci ruko padaku. Double
sialan! Aku dikerjain!
“Apa-apaan kalian? Ini namanya
penculikan!!” Aku meronta berusaha membuka pintu mobil, tetapi dengan sigap Leo
dan Nikki mencekal kedua lenganku. Aku tidak bisa berkutik. Kekuatan Nikki saja
tadi tidak bisa kulawan, apalagi sekarang Leo membantunya.
“Ponselku … aku lupa membawa ponsel,”
ucapku tiba-tiba. Aku ingat kalau
tadi aku melemparkan ponsel itu ke sofa.
“Kau tidak memerlukan ponsel di sana,
Faith. Di sana tidak ada sinyal,” ujar Nikki. Aku mendengus kesal. Ke mana
mereka akan membawaku? Tempat yang tidak ada sinyal? Pantai??
Tiba-tiba aku merasa ada yang
mengawasiku dari belakang. Aku menoleh, dan benar. Ada Hyden di sana. Ia cuma
nyengir ketika mata kami beradu. Seketika aku langsung mengalihkan pandangan
kembali ke depan dan tidak berkata-kata lagi selama perjalanan.
0 komentar:
Posting Komentar