Cerita ini aku tulis dalam sekali duduk, sejam, dengan power of kepepet saat ikut kelas tantangan rooms kepenulisan yang kuikuti. 


LOVE IS ON THE WAY




Aku pernah mengatakan jika cinta dan persahabatan memiliki nasib yang sama. Terkadang harus dikorbankan demi salah satunya. Jika bukan cinta yang dikorbankan, tentu saja persahabatanlah yang harus mengalah demi apa yang dinamakan dengan cinta. Mainstream? Tentu saja! Namun hal itu yang sering kulihat. Entah di sinetron, novel bahkan kehidupan nyata.

Aku sering mendengar bahwa seseorang tidak ingin merusak persahabatan yang terjalin hanya karena cinta atau sebaliknya, hingga ia harus mengorbankan salah satunya. Aku juga sering melihat seorang sahabat akan rela melakukan apa saja demi sahabatnya meski ia harus mengorbankan orang yang dicintainya, atau seseorang akan rela melakukan apa saja demi orang yang dicintainya meski harus kehilangan sahabat yang sudah menemaninya sekian lama.

Sebenarnya, ada apa dengan cinta dan persahabatan? Apakah mereka tidak bisa berjalan beriring bersama? Mungkin ego manusialah yang menuntut keduanya untuk melakukan pengorbanan, seakan persahabatan atau cinta tidak dapat dikatakan sejati jika tidak mempunyai pengorbanan.

Lantas, ketika seseorang mengorbankan salah satu di antara cinta atau persahabatan, apakah selanjutnya ia akan hidup bahagia? Aku rasa tidak. Bukankah ketika seseorang mengatakan tidak ingin merusak persahabatan atau cinta kemudian mengorbankan salah satunya, dengan otomatis ia sudah merusaknya? Cinta atau persahabatan yang berusaha ia jaga otomatis tidak lagi utuh. Pasti juga retak.

Aku mengalaminya. Mengorbankan cintaku atas nama persahabatan. Mempertahankan status sahabat dan membiarkan cintaku berada di sudut hati yang tak terjangkau lagi. Menyembunyikannya begitu rapat hingga tidak satu pun menyadarinya. Setelah itu, apakah aku bahagia? Tentu saja tidak! Sama sekali tidak bahagia! Bagaimana bisa seseorang bisa bahagia ketika dituntut untuk mengorbankan apa yang ia cintai? Konyol sekali!

Dan persahabatan itu, ketika aku memutuskan untuk mengorbankan cintaku demi yang namanya persahabatan, secara tidak langsung aku telah merusak persahabatan itu sendiri. Canggung dan hampa, tidak seperti saat cinta itu belum hadir di hatiku.

Entah kenapa ketika semua ini terjadi, aku baru bisa berpikir. Kenapa aku harus mengorbankan salah satunya jika pada saatnya keduanya sama-sama tidak dapat dipertahankan? Tidak bisakah mereka seiring sejalan? Sama-sama berkorban untuk menerima salah satunya? Bukankah hal itu juga termasuk pengorbanan?




Aku menghela napas panjang ketika membaca lagi apa yang kutulis, kemudian mengarahkan kursor untuk menge-klik tombol publish. Menulis blog suatu salah satu kegiatan yang sering kulakukan ketika sedang galau. Hei, aku bukan penulis profesional yang karyanya bisa dinikmati banyak orang. Aku menulis hanya untuk mencurahkan isi hati. Diary elektronik, mungkin bisa disebut begitu. Blog yang kutulis hanya berisi curahan hati tentang Rexa, sahabat yang kucintai.

Menulis ini membuatku teringat percakapan kami beberapa bulan terakhir, percakapan terakhir kami sebagai sahabat yang ‘benar-benar sahabat’.

“Kata Revel, kamu ada perasaan spesial padaku?” tanyanya sambil memetik gitar.

“Apa?” Aku mendongak, kaget. Meneliti air muka Rexa saat ini dan aku tidak menemukan ekspresi apa-apa. Ia masih memetik gitar sambil menatap jari-jarinya yang berpindah-pindah sesuai kunci yang dimainkan.

“Kenapa kamu tanya kayak gitu?” tanyaku lirih, grogi.

“Nggak papa sih, cuma Revel pernah bilang seperti itu. Aku sih nggak percaya. Rasanya aneh aja sih. Aku belum pernah pacaran sama orang yang deket gitu.” Kulihat ia mengedikkan bahu sebelum menanyakan sesuatu yang hingga kini aku menyesalinya.

“Jadi, Revel bener nggak? Kamu ada perasaan spesial padaku?” tanyanya dengan pandangan mata yang tidak dapat kuartikan.

“Menurutmu, maunya kamu gimana?”

“Entahlah, aku hanya tidak ingin merusak persahabatan kita. Jadi ...?”

“Tentu saja tidak,” jawabku spontan. Jawaban yang menusuk hatiku sendiri.


Menutup wajah dengan bantal, berusaha menghilangkan ingatan tentang percakapanku dengan Rexa yang membuat semua berubah. Persahabatanku dan Rexa makin lama makin renggang seakan ada jarak yang tak terlihat. Entah perasaanku saja, atau aku yang mulai menjaga jarak, ia pun melakukan hal yang sama.

Jika cinta tidak bisa menyapa, mengapa persahabatan ikut lenyap juga?

_______


“Kamu nggak mau nemenin aku hari ini, Rev?” tanyaku pada Revel saat keluar dari kelas. Lelaki itu berpaling ke arahku, lalu menggaruk belakang kepalanya.

“Bukannya nggak mau, tapi aku sudah janji duluan sama Rexa. Aku mau bantuin dia persiapan. Dia mau nembak gebetannya,” jawab Revel sambil memakai jaket, lalu tiba-tiba ia menghentikan gerakannya, menatapku ragu saat ia menyadari aku hanya mematung mendengar jawabannya.

“Mmm, kamu nggak papa kan, Tha?” tanyanya dengan ekspresi bersalah.

“Nggak papa lah, aku biasa sendiri kok,” ujarku berusaha bersikap biasa. Cukup shock mendengar Rexa mau nembak seorang cewek. Dia tidak pernah cerita padaku soal itu. Ya, aku sadar kalau persahabatan kami tidak seperti dulu lagi. Mungkin sekarang ia lebih suka cerita pada Revel. Sebelum mengenalku, Rexa bersahabat dengan Revel dan akhirnya kami bertiga juga bersahabat.

“Bukan itu, tentang Rexa.”

“Kenapa Rexa? Aku cuma agak kaget sih. Dia nggak pernah cerita soalnya. Mungkin akhir-akhir ini dia sibuk,” jawabku sambil mencoba tersenyum meski dadaku serasa diremas. Dulu Rexa selalu ada untukku. Perhatiannya bahkan melebihi dari seorang pacar yang selalu menginginkan perhatian.

“Aldo tadi nitip salam ke kamu,” ujar Rexa sambil merangkulku, berjalan menuju parkiran.

“Terus?”

“Terus apa? Aku nggak mau ya kamu berbagi perhatian sama cowok lain. Aku nggak suka Aldo deketin kamu. Dia itu tipe cowok dominan. Waktumu bakal tersita sepenuhnya kalau sama dia. Kamu nggak akan punya waktu denganku.” Rexa menarik hidungku yang membuatku berteriak kesal.

“Sakit Rexa!” Aku mengusap hidungku.

“Sakit ya?” Rexa terkekeh lalu mendekatkan wajahnya ke wajahku. Ia meniup pelan hidungku yang memerah. Begitu dekatnya jarak wajah kami membuat tidak hanya hidungku yang merah, tapi juga pipiku.

Sekarang kamu yang nggak punya waktu denganku, Rexa. Bahkan kamu melupakan hari ini. hari yang seharusnya jadi hari bahagiaku.

“Habis bantuin Rexa, aku nyusulin kamu deh. Di tempat biasa kan?” Revel mengacak rambutku pelan kemudian berlalu tanpa mendengar jawabanku. Berjalan dengan lunglai menuju halte, kenangan bersama Rexa mulai memenuhi kepalaku.

“Sendirian?” Terdengar sebuah suara menyapa, membuatku berpaling ke arah kiri dan mendapati seorang lelaki yang tersenyum ke arahku. Hujan masih deras dan bus pun belum menampakkan diri.

Menggeser tubuhku hingga di bangku paling pojok, aku menoleh kanan kiri, mencari seseorang. Halte ini selalu sepi apa lagi saat hujan begini. Ramai hanya saat bubaran mahasiswa. Bus pun hanya setengah jam sekali lewat.

“Aku bukan penjahat kok. Aku mahasiswa di sini juga,” ucapnya sambil memperlihatkan kartu mahasiswa yang membuatku otomatis tersenyum geli. Ngapain juga pakai memperlihatkan kartu mahasiswa?

“Namaku Rexa.” Ia mengulurkan tangan. Beberapa saat aku menatap tangan yang terulur sebelum memutuskan untuk menyambutnya.

“Atha. Reatha,” sambutku sambil tersenyum.

“Bus mu datang, Tha.” Lelaki itu mengedikkan dagu ke arah bus yang baru saja berhenti di depan halte. Aku mengangguk, berdiri.

“Pakai jaketku. Hujannya deras.” Tiba-tiba ia menutupi rambutku dengan jaketnya. Aku hanya melongo menatapnya. Lelaki yang aneh. Baru pertama ketemu sudah berlaku manis seperti ini? Tidak sadar pipiku memanas.

“Sudah, sana. Bus-mu menunggu. Kita pasti ketemu lagi.” Ia mendorongku memasuki bus lalu melambaikan tangannya ketika bus mulai berjalan.

Tuhaann, kenapa begini rasanya? Masih kuingat jelas perlakuan-perlakuan manisnya padaku. Masih kuingat jelas perhatiannya yang tak pernah absen setiap hari. Dan kini aku harus merelakannya untuk perempuan lain? Kenapa mendengar Rexa memilih melabuhkan hatinya pada perempuan lain membuatku ingin menangis? Kenapa harus sesakit ini? Hati ini benar-benar retak dan ini salahku. Salahku. Seandainya saja aku bisa menjaga hati untuk tetap menganggapnya sahabat seperti yang ia inginkan, mungkin ini tidak akan menyakitkan.

Ia melupakanku. Melupakan hari ulang tahunku, bahkan merencanakan pengungkapan hatinya kepada perempuan lain di hari ini. Hari ulang tahunku!

______


Sakit? Tentu saja! Siapa yang tidak sakit ketika mengetahui orang yang dicintai memilih perempuan lain untuk ia cintai? Memang siapa aku? Aku hanya sahabat untuknya. Sahabat seperti apa? Sahabat yang tidak diberi tahu tentang gebetan sahabatnya? Yang benar saja! Air mataku menetes saat pikiran itu melintas di kepala.

Membuka aplikasi Blogger dari handphone, kemudian mengetikkan sesuatu yang ada di pikiranku saat ini.

Berlarilah sahabatku, larilah dengan kencang mencari orang yang kau cintai. Jangan pedulikan diriku, tataplah ke depan, tataplah kebahagiaanmu. Saat kau lelah berlari, dan tak lagi mendapati apa yang kau cari, tengoklah ke belakang. Masih ada aku di sini.

Menghapus air mata setelah menekan tombol publish, aku dikejutkan oleh Revel yang tiba-tiba duduk di depanku membawa cupcake dengan satu lilin kecil yang menyala.

Happy birthday, Tha!”

Aku tersenyum, memejamkan mata mengucapkan permohonan dalam hati. Aku ingin Rexa, Tuhan. Meski mustahil, aku ingin Rexa mengucapkan cinta padaku. Aku tidak ingin Rexa bersama dengan cewek itu.

“Tiup lilinnya,” ujar Revel setelah aku membuka mata. Tanpa menunggu aba-aba, aku meniup lilin hingga apinya padam.

Thank you, Rev. Ternyata kamu tidak lupa ulang tahunku.” Aku tertawa kecil saat Revel menyodorkan cupcake itu padaku. Semenjak jauh dari Rexa, lelaki berkacamata ini yang selalu menggantikan Rexa, menemaniku di cafe favorit kami.

“Mana mungkin aku lupa.” Ia tertawa pelan.

“Udah selesai bantuin Rexa?” tanyaku hati-hati.

“Udah kok. Makanya aku langsung ke sini, keburu kamu nanti pulang. By the way, kamu mau kado apa? Mumpung aku belum beliin,” ujarnya sambil tertawa.

“Ih, bilang saja kamu lupa beliin kado.”

“Aku sih udah nyiapin kado spesial buat kamu, tapi nanti ya.” Revel mengedipkan sebelah mata, menggodaku.

Rasa-rasanya aku ingin bertanya banyak hal tentang Rexa pada Revel. Seperti apa cewek yang beruntung mendapatkan hatinya. Tidak, aku tidak ingin mendengar jawaban atas pertanyaanku sendiri. Itu sama saja menikam hatiku sendiri dengan pisau berkali-kali. Lamunanku buyar saat mendengar suara dering handphone. Revel mengangkat panggilan dan tiba-tiba wajahnya pucat.

“Apa? Tunggu! Aku akan segera ke sana!” ujarnya buru-buru mematikan sambungan teleponnya.

“Atha, Rexa kecelakaan.”

“Apa?” aku terbelalak mendengar ucapan Revel. Jangan-jangan ini gara-gara doaku? Oh, Tuhan! Aku tidak ingin terjadi apa-apa padanya. Aku hanya ingin Rexa tidak bersama cewek itu, bukan buat Rexa kecelakaan....

“Bukannya kamu bilang, dia mau nembak gebetannya?” tanyaku saat Revel berdiri, hendak pergi.

“Entahlah, tadi waktu kutinggal, dia juga baru siap-siap pergi. Kamu mau ikut? Aku akan ke sana.”

“Aku ikut!”

_______


“Rev, ini bukan jalan ke rumah sakit!”

“Memang bukan,” jawab Revel pelan.

“kita mau ke mana?”

“Kampus.”

“Kok ke kampus?”

“Rexa ada di kampus.”

“Kenapa nggak ada yang bawa ke rumah sakit? Rexa kecelakaan di kampus?” Berarti cewek yang disukai Rexa kuliah di kampus yang sama. Kalau mereka jadian, aku tidak akan tahan melihat mereka setiap hari. Aku menggeleng-geleng, mengusir pikiran itu. Rexa kecelakaan dan aku masih sempat memikirkan hal itu?

“Turun,” ucap Revel yang membuatku menatapnya. Mobil Revel sudah berhenti di tepi jalan. Masih dalam kebingungan aku menatap ke luar dan mendapati Rexa di seberang jalan, berdiri di halte saat pertama kali kami berkenalan dengan banner “I love You, Atha” di tangannya.

“Ini ... apa?” desisku tidak percaya.

“Surprise! Tuh, kadomu sudah menunggu di halte!” ujar Revel dengan nada menggoda.

“Kalian ....” Aku menatap Revel tidak percaya.

Mereka merencanakan ini? Cewek yang mau ditembak Rexa itu aku? Rexa mencintaiku? Aku tak percaya! Rexa mencintaiku??

“Kamu saja yang bodoh, nggak ngerti perasaan Rexa padamu. Kemaren itu dia mau nembak kamu, kamu malah nolak dia,” ujar Revel dengan ekspresi geli.

Handphoneku berbunyi menampilkan wajah Rexa yang dengan cepat aku terima.

“Xa,” cicitku. Aku hampir tidak dapat mengeluarkan suara saking bahagianya.

“I love You, Atha. Aku nggak ingin lari ke mana-mana, Tha. Karena ke mana pun aku lari, tetap saja endingnya hatiku berada di kamu.”

“Kamu dapat kata-kata itu dari mana?” Aku hampir tertawa saat mendengar kata-kata itu. Rexa bukan tipe romantis yang suka mengumbar kata-kata manis. Bukan seperti Revel.

“Aku menjawab apa yang kamu tulis di blog kok,” jawab Rexa yang membuatku melongo. Blog?

“Kamu ... kamu baca blog ku?”

“Itu semua kamu tulis buat aku kan? Maafkan aku Tha, saat itu aku bingung bagaimana cara mengungkapkan perasaanku ke kamu. Malah yang keluar dari mulutku, kata-kata seperti itu. Aku hanya tidak ingin merusak persahabatan kita karena perasaanku ke kamu. Aku takut kalau kamu tahu perasaanku, kamu malah menjauh dariku. Dan saat membaca blog kamu, aku baru sadar kalau kamu juga mencintaiku.”

“Xa ....”

“Kamu nggak mau keluar dan nemuin aku, Tha?” tanya Rexa yang kusambut dengan cengiran.

Kuputuskan panggilan, keluar dari mobil sambil menatap sahabat—yang sebentar lagi jadi kekasihku—dengan rasa haru. Ternyata cinta tidak meninggalkanku, dia hanya sedang dalam perjalanan menuju hatiku.

“Athaaa ... I love Yooouu...!” teriakannya membuatku melongo.

Astaga, dia lebay sekali. Pada akhirnya aku tidak bisa menyembunyikan tawa, entah terlalu bahagia, atau karena sikapnya yang konyol. Tanpa memperhatikan sekeliling, aku melangkahkan kaki lebar, tidak sabar ingin berada dalam pelukan Rexa. Sempat kulihat wajahnya menunjukkan keterkejutan bercampur rasa khawatir. Matanya yang melotot membuatku semakin geli, sandiwara apa lagi—

Sesuatu membentur tubuhku, aku sempat merasa seperti terbang dan berakhir pada benturan yang lain. Pening ... aku melihat Rexa berlari ke arahku, sebelum akhirnya pandanganku mengabur dan....


TAMAT.

0 komentar:

Posting Komentar

 

PIEXAWORLD Published @ 2014 by Ipietoon